Rabu, 23 November 2011

Kerajaan Allah di Masa Lalu

Kerajaan Allah adalah upah di masa depan bagi orang-orang percaya. Hal itu tentunya menjadi motivasi bagi mereka untuk hidup menurut teladan Kristus, yang meliputi penderitaan jangka pendek atau hal-hal yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, diharapkan agar di dalam hari-hari kehidupan mereka, takkan pernah berkurang keinginan untuk menghargai dan memahami keajaiban di masa depan Kerajaan Allah, yang juga merupakan tujuan akhir dari perjuangan rohani dan pernyataan sepenuhnya atas Allah yang mereka kasihi seperti orang tua mereka sendiri.

Tulisan-tulisan kudus penuh dengan penjelasan terperinci mengenai Kerajaan Allah, dan akan menghabiskan waktu seumur hidup hanya untuk menemukan sebagian kecil darinya. Salah satu cara untuk dapat memahami beberapa prinsip Alkitab mengenai Kerajaan di masa depan ini adalah dengan mengakui bahwa Kerajaan Allah pernah berdiri di masa lalu, melalui perwujudan bangsa Israel. Kerajaan ini akan didirikan lagi pada saat kedatangan Kristus. Alkitab memberikan kita banyak informasi tentang bangsa Israel, dengan tujuan agar kita dapat memahami dengan luas bagaimana Kerajaan Allah di masa depan diorganisir.

Allah seringkali disebut sebagai “Raja Israel” (Yes. 44:6 bandingkan Yes. 41:27; 43:15, Mzm. 48:2; 89:18; 149:2); karena bangsa Israel adalah KerajaanNya. Mereka mulai menjadi Kerajaan Allah, pada saat mereka memasuki Perjanjian dengan Allah di gunung Sinai, segera setelah mereka dibebaskan dari Mesir, dengan melalui laut merah. Sebagai jawaban atas kebersediaan mereka untuk menjaga Perjanjian itu, mereka dijadikan “Kerajaan Imam dan Bangsa yang Kudus” (Kel. 19:5,6). Maka, “Pada waktu Israel keluar dari Mesir…maka Yehuda menjadi tempat KudusNya, Israel wilayah kekuasaanNya” atau KerajaanNya (Mzm. 114:1,2). Setelah memasuki Perjanjian ini, Israel mengadakan perjalanan melewati padang gurun Sinai dan menetap di tanah perjanjian Kanaan. Walaupun Allah adalah Raja mereka, tetapi mereka diperintah oleh “hakim-hakim” (Gideon, Samson, dll.). Hakim-hakim ini bukanlah Raja, tetapi pemimpin-pemimpin yang berada dibawah bimbingan Allah, yang memerintah hanya di beberapa daerah di Israel, tidak seluruhnya. Mereka dipilih Allah untuk tujuan tertentu, misalnya untuk menyerahkan Israel ke tangan musuh-musuh mereka, agar mereka bertobat. Ketika bangsa Israel meminta kepada Gideon untuk menjadi Raja mereka, ia menjawab; “Aku tidak akan memerintah kamu…Tuhan yang memerintah kamu.” (Hak. 8:23).

Hakim yang terakhir adalah Samuel. Pada masanya, bangsa Israel meminta diberikan seorang Raja dari kalangan manusia, agar sama seperti bangsa-bangsa disekitar mereka (I Sam. 8:5,6). Sepanjang sejarah, umat Allah yang benar seringkali tergoda untuk merendahkan kedekatan hubungan mereka dengan Allah, dan mengorbankannya hanya karena penampilan, agar kelihatan sama dengan dunia di sekitar mereka. Allah mengeluh kepada Samuel; “Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (I Sam. 8:7). Walaupun begitu, Allah tetap memberikan mereka Raja, dimulai dengan Saul yang jahat. Setelah dia Daud, dan raja-raja berikutnya berasal dari garis keturunannya. Raja-raja yang memiliki pemahaman rohani yang baik menyadari bahwa Israel tetap Kerajaan milik Allah, tetapi walaupun begitu mereka tetap menolak kepemimpinanNya. Mereka juga menyadari kepemimpinan mereka atas Israel atas kehendak Allah dan bukan atas kehendak mereka sendiri.

Dengan memahami prinsip ini, dapat membuat kita memahami penjelasan dari Salomo, anak Daud, yang memerintah ”diatas takhtaNya (Allah), sebagai Raja untuk Tuhan, Allahmu!” (II Taw. 9:8; I Taw. 28:5; 29:33). Pemerintahan Salomo penuh dengan kedamaian, yang merupakan gambaran dari Kerajaan Allah di masa depan. Inilah sebabnya mengapa ia disebut Raja yang memerintah Israel dengan mengatasnamakan Allah, seperti Yesus yang juga duduk di takhta Allah sebagai Raja Israel untuk Allah (Mat. 27:37,42; Yoh. 1:49; 12:13).

Perjanjian Lama mencatat banyak dari raja-raja yang baik yang menikmati pemerintahannya, yang serupa dengan Kerajaan Kristus di masa depan. Sebagaimana halnya Salomo membangun Bait Allah di Yerusalem, demikian juga Kristus akan membangun Kerajaan di masa depan (lihat Yeh. 40-48). Dan Seperti Hizkia dan Salomo yang menerima pemberian-pemberian dan upeti dari bangsa-bangsa disekeliling mereka (I Raj. 10:1-4; II Raj. 20:12) dan melihat tanah Israel diberkati dengan kesuburan yang menakjubkan dan kemakmuran (I Raj. 10:5-15, Yes. 37:30), hal yang sam juga akan terjadi pada Kerajaan Kristus, tetapi dengan skala yang lebih besar.

Perkawinan

Walaupun Salomo memulai pemerintahannya dengan baik, karena umurnya yang masih muda, ia membuat kesalahan dalam hal perkawinan, yang membuat imannya semakin melemah seiring ia bertumbuh menjadi dewasa. ”Raja salomo mencintai banyak perempuan asing...perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, Het, padahal tentang bangsa-bangsa itu Tuhan telah berfirman kepada orang Israel: ”Janganlahkamu bergaul dengan mereka dan merekapun janganlah bergaul dengan kamu, sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah merela.” Hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta...istri-istrinya itu menarik hatinya daripada Tuhan. Sebab pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Tuhan, Allahnya...dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati, mengikuti Tuhan...Sebab itu Tuhan menunjukkan murkaNya kepada Salomo...Lalu berfirmanlah Tuhan kepada Salomo...Aku akan menggoyahkan kerajaan itu daripadamu” (I Raj. 11:1-11).

Jatuhnya Salomo ke dalam kemurtadan memakan waktu yang cukup lama. Hubungannya dengan wanita-wanita yang tidak ia ajarkan pengetahuan tentang Allah Israel, membuat ia menjadi simpati kepada allah-allah palsu mereka. Cintanya kepada istri-istrinya membuat ia tidak lagi memandang penyembahan allah-allah ini sebagai perbuatan yang tidak wajar kepada Allah yang benar. Dan seiring waktu berjalan, ia tidak lagi menyembah kepada Allah Israel. ”ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan,” hati nuraninya tidak lagi merasa terganggu terhadap penyembahan allah-allah palsu. Hatinya yang tidak sepenuh hati dalam mengadakan perjanjian dengan Allah sama dengan ”melakukan apa yang jahat di mata Tuhan,” sebagai akibatnya, Allah yang benar memutuskan hubungannya dengan Salomo. Bangsa Israel seringkali diberitahu Allah agar jangan mengambil istri-istri dari bangsa-bangsa yang berada di sekeliling mereka (Kel. 34:12-16; Yos. 23:12,13; Ul. 7:3).

Melalui pembaptisan di dalam Kristus kita menjadi bangsa Israel rohani. Jika kita belum menikah, kita hanya boleh menikahi orang-orang Israel rohani, “di dalam Yesus” (I Kor. 7:39), yaitu orang-orang percaya yang dibaptis ”di dalam Kristus.” Jika kita sudah menikah sebelum dibaptis, kita tidak boleh berpisah dengan pasangan kita; karena hubungan perkawinan kita dikuduskan oleh iman kita (I Kor. 7:12-14). Dengan sadar memilih untuk mengawini mereka yang tidak mengetahui kehendak dari Allah yang benar, dalam jangka panjang akan menuntun kita kepada kemurtadan. Jelas sekali bahwa Salomo telah gagal dalam menghargai kebenaran dari peringatan Allah akan istri-istrinya, “sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu” (I Raj. 11:2; Kel. 34:16). Hanya dengan pengendalian diri pada tingkat yang luar biasa, dan pertobatan yang sungguh-sungguh, dapat membuat kita menerima perintah ini.

Kristen Ortodoks tidak menghargai ajaran orang-orang Yahudi yang merupakan dasar dari pengharapan orang Kristen; mereka tidak mengenal Allah Israel yang benar. Perkawinan campur dengan orang-orang seperti itu pada umumnya akan membuat kita secara berangsur-angsur menolak kebenaran dari doktrin-doktrin yang mulia, yang merupakan dasar dari keselamatan kita. Untuk alasan inilah Ishak dan Yakub menempuh jarak yang sangat jauh untuk menikahi wanita yang memiliki iman yang benar, bahkan Ishak harus menunggu sampai ia berusia 40 tahun untuk mendapatkan wanita yang tepat (Kej. 24:3,4; 28:1). Kesedihan Ezra dan Nehemia saat mendengar ada beberapa dari orang-orang Yahudi yang mengawini orang-orang yang bukan Yahudi menunjukkan betapa pentingnya masalah ini (Ezra 9:12; Neh. 10:29,30).

Penghakiman Allah

Sebagai akibat dari kemurtadan Salomo, Kerajaan Israel terbagi menjadi dua; Rehabeam, anak Salomo, memerintah atas suku Yehuda dan Benyamin, dan setengah dari suku Manasye; dan Yerobeam memerintah atas sepuluh suku yang lain. Kerajaan sepuluh suku ini disebut Israel atau Efraim, dan Kerajaan dua suku itu disebut Yehuda. Orang-orang dari semua suku ini sebagian besar mengikuti kejahatan yang dilakukan Salomo, mereka mengaku percaya kepada Allah yang benar, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga menyembah berhala-berhala dari bangsa-bangsa yang ada di sekeliling mereka. Berulang kali dengan perantaraan nabi-nabi, Allah memperingati mereka agar bertobat, tetapi selalu diabaikan. Karena inilah maka Allah menghukum mereka dengan mengeluarkan mereka dari Kerajaan Israel, dan menyerahkan mereka ke dalam tangan musuh-musuh mereka, yaitu Asyur dan Babilon, yang menyerang mereka dan membawa mereka ke dalam penawanan; ”Namun bertahun-tahun lamanya Engkau melanjutkan sabarMu terhadap mereka dengan RohMu (Firman) Engkau memperingatkan mereka, yakni dengan perantaraan para nabiMu, tetapi mereka tidak menghiraukannya, sehingga Engkau menyerahkan mereka ke tangan bangsa-bangsa segala negeri” (Neh. 9:30).

Kerajaan sepuluh suku Israel sama sekali tidak memiliki raja yang baik. Yerobeam, Ahab, Yoahas, dll. Semuanya tercatat dalam buku Raja-raja sebagai penyembah berhala. Raja mereka yang terakhir adalah Hosea, dalam masa pemerintahannya, Israel dikalahkan oleh Asyur dan sepuluh suku Isarel dibawa ke dalam penawanan (II Raj. 17). Sejak itu mereka tidak pernah kembali lagi ke Israel.

Kerajaan dua suku Yehuda memiliki beberapa raja yang baik (Hizkia, Yosia), meskipun sebagian besar dari antara raja-raja mereka jahat. Karena umatNya terus mengulangi perbuatan-perbuatan jahat, Allah menggulingkan Yehuda sebagai KerajaanNya pada masa pemerintahan raja mereka yang terakhir, Zedekia. Mereka dikepung oleh orang-orang Babilon dan dibawa ke Babilon sebgai tawanan (II Raj. 25). Mereka berada di sana selama 70 tahun, setelah itu beberapa dari mereka kembali ke Israel dibawah pimpinan Ezra dan Nehemia. Mereka tidak lagi memiliki raja sejak saat itu, selanjutnya mereka diperintah oleh bangsa-bangsa; Babilon, Yunani, dan Roma. Yesus lahir pada masa pemerintahan Roma. Karena Orang Yahudi menolak Yesus, maka atas kehendak Allah, Roma menyerang Yerusalem pada tahun 70 M, dan mereka tercerai-berai ke segala penjuru dunia. Dalam waktu kurang lebih 100 tahun hingga saat ini, mereka telah mulai kembali ke negeri mereka, yang juga merupakan tanda dari kedatangan Kristus.

Yehezkiel 21:25-27 menubuatkan akhir dari Kerajaan Allah ini seperti yang terlihat pada bangsa Israel; ”Dan hai engkau, raja Israel (Zedekia), orang fasik yang durhaka, yang saatmu sudah tiba...beginilah firman Tuhan Allah; Jauhkanlah serbanmu dan buangkanlah mahkotamu; Tiada yang tetap seperti keadaannya sekarang...Puing, puing, puing akan kujadikan dia! Inipun tidak akan tetap. Sampai Ia datang yang berhak atasnya, dan kepadanya akan Kuberikan itu.” Ayat demi ayat dari kitab nabi-nabi meratapi akhir dari Kerajaan Allah (Hos. 10:3; Rat. 5:16; Yer. 14:21; Dan. 8:12-14).

Pengulangan kata ”puing” sebanyak tiga kali pada Yehezkiel 21:25-27, menunjukkan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Nebukadnezar, Raja Babilon, akan dilakukan sebanyak tiga kali. Pelajar yang membaca dengan cermat akan menemukan contoh yang lain pada ayat-ayat ini, tentang bagaimana Kerajaan Allah dan Rajanya dikaitkan, yaitu kejatuhan Kerajaan Allah sama dengan kejatuhan dari Zedekia . Maka Kerajaan Allah, yaitu bangsa Israel, berakhir; ”Aku akan mengakhiri pemerintahan kaum Israel” (Hos. 1:4). ”Sampai ia datang yang berhak atasnya, dan kepadanya akan kuberikan itu.” Allah akan ”mengaruniakan kepadanya (Yesus) takhta daud...dan Kerajaannya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:32,33), yang akan didirikan pada saat kedatangan Kristus, dimana janji tentang pembangunan kembali Kerajaan itu akan digenapi.

Pemulihan Israel

Ada suatu tema besar yang disampaikan oleh para nabi-nabi di dalam Perjanjian Lama tentang Pemulihan Kerajaan Allah pada saat kedatangan Kristus. Murid-murid Kristus menanyakan tentang hal ini; ”Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan Kerajaan bagi Israel?” atau akankah Yehezkiel 21:27 akan digenapi pada saat ini? Yesus menjawabnya dengan mengatakan bahwa mereka tidak perlu mengetahui dengan pasti waktu kedatangannya yang kedua; sesudah itu malaikat segera mengangkatnya, dan meyakinkan mereka bahwa dengan cara yang sama Ia akan datang kembali” (Kis. 1:6-11).

Oleh karena itu pemulihan Kerajaan Allah/Israel, akan dilakukan pada saat kedatangannya yang kedua. Karena itu Petrus mengajarkan bahwa Allah akan mengutus ”Yesus Kristus...di surga sampai waktu pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabiNya yang kudus di zaman dahulu” (Kis. 3:20,21). Pada saat kedatangannya yang kedua ia akan mendirikan kembali Kerajaan Allah dan memulihkan Kerajaan Israel di masa lalu.

Pemulihan Kerajaan Allah adalah tema yang sebenarnya dari firman ”nabi-nabiNya yang kudus”;

- ”Maka sautu takhta akan ditegakkan dalam kasih setia dan diatasnya, dalam kemah Daud (pada kedatangan Yesus yang kedua Luk. 1:32,33), akan duduk senantiasa seorang hakim (Yesus) yang menegakkan keadilan dan yang segera melakukan kebenaran” (Yes. 16:5).

- ”Pada hari itu Aku akan mendirikan kembali pondok Daud (”takhta” Daud Luk. 1:32,33) yang telah roboh; Aku akan menutup pecahan dindingnya, dan akan mendirikan kembali reruntuhannya” (Amos 9:11) kata-kata terakhir dengan jelas mengartikan pemulihan.

- ”Anak-anak mereka (Israel) akan menjadi seperti dahulu kala, dan perkumpulan mereka akan tinggal tetap di hadapanKu” (Yer. 30:20)

- ”dan Ia akan memilih Yerusalem pula” (Za. 2:12), dengan menjadikannya sebagai ibukota dari Kerajaannya (bandingkan Mzm. 48:2; Yes. 2:2-4)

- ”Aku akan memulihkan keadaan Yehuda dan Israel dan akan membangun mereka seperti dahulu...akan terdengar lagi suara kegirangan dan suara sukacita...Sebab Aku akan memulihkan keadaan negeri ini (Yerusalem) seperti dahulu...akan ada lagi padang rumput bagi gembala-gembala...kambing domba akan lewat lagi...” (Yer. 33:7-13).

Kedatangan Kristus untuk mendirikan Kerajaan ini benar-benar menjadi ”Pengharapan dari Israel” yang juga ada hubungannya dengan pembaptisan kita.

Senin, 14 November 2011

Apakah Kerajaan Allah ada di dalam diri anda?

Ada suatu kepercayaan yang diakui secara luas, bahwa Kerajaan Allah telah sepenuhnya didirikan pada saat ini, melalui sekumpulan orang-orang percaya yang benar sebagai suatu ”Gereja.” Sebagaimana tujuan Allah untuk ”menyelamatkan” orang-orang percaya yang benar dan memberikan mereka tempat di Kerajaan, maka tidak dapat dibantah jika pada saat ini kita belum berada di dalam Kerajaan itu, dengan mengingat bahwa Kristus belum datang kembali untuk mendirikannya.

Seharusnya sudah jelas, dari apa yang telah kita pelajari sejauh ini, bahwa ”daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (I Kor. 15:50). Kita adalah ”ahli waris dari Kerajaan yang telah dijanjikanNya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak. 2:5), dengan mengingat bahwa melalui pembaptisan, kita menjadi ahli waris dari janji-janji kepada Abraham, yaitu dasar dari Injil Kerajaan. (Mat. 4:23; Gal. 3:8, 27-29). Oleh karena itu, pada umumnya kita akan menjumpai janji-janji untuk mewarisi Kerajaan pada saat Kristus datang, yaitu pada saat janji-janji kepada Abraham akan digenapi (Mat. 25:34; I Kor. 6:9,10; 15:50; Gal. 5:21; Ef. 5:5). Seringnya digunakan bahasa seperti ini untuk menjelaskan tentang warisan di masa depan, menunjukkan bahwa Kerajaan tersebut bukanlah keberadaan dari sekumpulan orang-orang percaya pada saat ini.

Yesus menjelaskan suatu perumpamaan untuk mengoreksi mereka yang berpikir ”bahwa Kerajaan Allah akan segera kelihatan. Maka Ia berkata; ”Ada seorang bangsawan berangkat ke sebuah negeri yang jauh untuk dinobatkan menjadi Raja disitu dan setelah itu baru kembali.” Untuk sementara waktu ia meninggalkan pelayan-pelayannya dengan tanggung jawab masing-masing. ”ketika ia kembali, setelah ia dinobatkan menjadi Raja, ia menyuruh memanggil hamba-hambanya,” kemudian menghakimi mereka (Luk. 19:11-27).

Bangsawan itu melambangkan Kristus yang pergi ke ”negeri yang jauh” di langit untuk menerima Kerajaan, dan kembali pada saat penghakiman, yaitu pada saat kedatangannya yang kedua. Oleh karena itu mustahil bagi ”hamba-hambanya” untuk menerima Kerajaan itu pada saat ini, yaitu pada masa ketidakhadiran tuan mereka.

Berikut ini adalah bukti-bukti sehubungan dengan hal tersebut;

- ”Kerajaanku bukan dari dunia (zaman) ini” dengan jelas dinyatakan oleh Yesus (Yoh. 18:36). Pada waktu yang sama ia juga mengatakan, ”Aku adalah Raja” (Yoh. 18:37), yang menunjukkan bahwa kepemimpinan Kristus pada saat ini tidak mengartikan bahwa Kerajaannya telah didirikan. Bahkan orang-orang beriman pada abad pertama dijelaskan sedang MENANTIKAN ”Kerajaan Allah” (Mrk. 15:43).

- Kristus mengatakan kepada murid-muridnya bahwa ia tidak akan minum lagi hasil dari pokok anggur ”sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan BapaKu” (Mat. 26:29). Ayat ini dengan jelas menyatakan secara tidak langsung bahwa Kerajaan itu akan didirikan pada masa depan, sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang pada saat itu sehubungan dengan pemberitaan Kristus mengenai ”Injil Kerajaan Allah” (Luk. 8:1). ”Berbahagialah orang yang akan (pada masa depan) dijamu dalam Kerajaan Alah” (Luk. 14:15).

- Lukas 22:29, 30 melanjutkan tema ini: ”Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu...bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam KerajaanKu.”

- Yesus menjelaskan tanda-tanda yang akan menyertai kedatangannya, dan menambahkan komentar, ”jika kamu melihat hal-hal itu terjadi ketahuilah, bahwa Kerajaan Allah sudah dekat” (Luk. 21:31). Omong kosong ayat ini, jika Kerajaan itu sudah ada sebelum kedatangannya yang kedua.

- ”Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara” (Kis. 14:22) Tidak mengherankan jika setiap orang percaya yang menderita, dengan sungguh-sungguh berdoa agar Kerajaan itu segera datang (Mat. 6:10)

- Allah telah ”memanggil kamu ke dalam Kerajaan” (I Tes. 2:12); sebagai jawaban, kita harus mencari jalan untuk masuk ke dalam Kerajaan itu melalui kehidupan rohani kita pada saat ini (Mat. 6:33).

Walaupun segala hal yang menyangkut tentang Kerajaan ditegaskan, banyak orang-orang “Kristen” Ortodoks memilih untuk mempercayai bahwa Kerajaan itu ada di dalam hati setiap orang yang percaya. Keyakinan ini hanya didasari satu ayat, “Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:21). Konteks ayat ini menunjukkan bahwa Yesus sedang berbicara dengan orang-orang Farisi (ayat 20); oleh karena itu, kata “kamu” menunjuk kepada mereka. Tentu saja mereka bukan orang Kristen, sehingga Kerajaan Allah tidak akan ada di hati mereka.

Orang-orang Yahudi mengadakan pertunjukkan umum yang besar, karena begitu bersemangat dalam mencari Mesias. Pada ayat tersebut, “Kerajaan Allah” lebih menunjuk kepada gelar dari Mesias, dengan mengingat bahwa Dialah yang akan menjadi Raja di dalam Kerajaan itu. Oleh karena itu, ketika Yesus memasuki Yerusalem orang-orang berteriak, “Diberkatilah dia (Mesias) yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana ditempat yang maha tinggi” (Mrk. 11:9,10). Mesias dihubungkan dengan “Kerajaan.” Karena itu Yohanes pembaptis mengajarkan bahwa “Kerajaan Surga sudah dekat, Sesungguhnya dialah yang dimaksudkan Nabi Yesaya” (Mat. 3:2,3). Dalam pemahaman kami di Lukas 17:20-24, Yesus telah menjawab pertanyaan orang-orang Farisi tentang “kedatangan Kerajaan Allah,” dengan menjelaskan tentang kedatangan “Anak Manusia.”

Tujuan Yesus adalah untuk menyatakan bahwa penantian orang Yahudi atas Mesias, dengan menantikannya sebagai orang yang perkasa, adalah salah. Mereka tidak menyadari bahwa Mesias “Kerajaan Allah,” yaitu Yesus, telah hadir diantara mereka dengan kerendahan hatinya. Karena itu ia memperingatkan mereka; “Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah...Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:20,21).

Kamis, 10 November 2011

Pengertian Kerajaan Allah

Adalah tujuan Allah untuk mengupahi umatNya yang beriman dengan memberikan kehidupan abadi pada saat kedatangan Kristus. Pengulangan janji-janji Allah sehubungan dengan hal ini tidak pernah dinyatakan secara tidak langsung bahwa orang-orang beriman akan pergi ke surga. “Injil Kerajaan Allah” (Mat. 4:23) telah diberitakan kepada Abraham melalui janji-janji Allah sehubungan dengan kehidupan abadi di bumi (Gal. 3:8). Oleh karena itu janji-janji tentang “Kerajaan Allah” akan digenapi setelah kedatangan Kristus. Walaupun pada akhirnya Allah akan menjadi Raja atas seluruh ciptaanNya, saat ini ia telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memerintah dunia dan menentukan nasib mereka sendiri seperti yang mereka inginkan. Karena itu dunia yang sekarang terdiri dari “kerajaan manusia” (Dan. 4:17).

Pada saat kedatangan Kristus, “Pemerintahan atas dunia (akan) dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapinya, dan Ia akan memerintah sebagai Raja sampai selama-lamanya” (Why. 11:15). Karena seluruh kehendak Allah akan dilaksanakan sepenuhnya di atas bumi, maka Yesus memerintahkan kita untuk berdoa agar “jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga” (Mat. 6:10). Berdasarkan ayat ini, kita dapat mengetahui bahwa “Kerajaan Allah” juga dapat disebut dengan “Kerajaan Surga” (Mat. 13:11 bandingkan Mrk. 4:11). Bukan “Kerajaan di Surga.” Tetapi adalah Kerajaan Surga yang akan didirikan di bumi pada saat kedatangan Kristus. Sebagaiman kehendak Allah yang ditaati sepenuhnya oleh para malaikat di surga (Mzm. 103:19-21), maka begitu juga dengan Kerajaan Allah di masa depan ketika bumi hanya dihuni oleh orang-orang yang benar, yang “sama seperti malaikat” (Luk. 20:36).

Oleh karena itu, dengan memasuki Kerajaan Allah pada saat kedatangan Kristus, adalah akhir dari perjuangan hidup kita sebagai orang Kristen dalam kehidupan ini (Mat. 25:34, Kis. 14:22). Untuk itu penting sekali memahami dengan benar tentang hal tersebut. Pemberitaan Filipus tentang Kristus didefinisikan sebagai pemberitaan “tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus” (Kis. 8:5,12). Ayat demi ayat mengingatkan kita bagaimana “Kerajaan Allah” menjadi tema utama dari pemberitaan Paulus (Kis. 19:8; 20:5; 28:23,31). Oleh karena itu sangat penting untuk memahami dengan baik doktrin Kerajaan Allah, mengingat hal ini adalah inti dari pemberitaan Injil, “bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami sengsara” (Kis. 14:22); Itulah cahaya diakhir perjalanan hidup kita, yang memotivasi kita untuk memberikan korban-korban di dalam hidup kita sebagai orang Kristen yang benar.

Raja Babilon, Nebukadnezar ingin mengetahui tentang masa depan dari dunia ini (lihat Daniel 2). Ia bermimpi melihat patung yang besar, yang terbuat dari logam-logam yang berbeda. Daniel menafsirkan mimpinya, kepala patung yang terbuat dari emas adalah Raja Babilon (Dan. 2:38). Setelah itu akan datang kerajaan besar yang menaklukan daerah-daerah di sekeliling Israel, “tetapi sebagaimana jari-jari kaki itu sebagian dari besi dan sebagian lagi dari tanah liat, demikianlah kerajaan itu akan menjadi keras sebagian dan rapuh sebagian” (Dan. 2:42).

Keseimbangan kekuasaan di dunia ini terbagi-bagi diantara bangsa-bangsa, ada yang kuat dan ada yang lemah. Kemudian Daniel melihat batu kecil yang menghantam kaki dari patung itu. Setelah menghancurkannya, batu itu tumbuh menjadi gunung yang besar, yang memenuhi seluruh bumi (Dan. 2:34,35). Batu itu melambangkan Yesus (Mat. 21:42; Kis. 4:11; Ef. 2:20; I Ptr. 2:4-8), dan “gunung” itu melambangkan Kerajaan Allah yang abadi, yang akan didirikan pada saat kedatangannya yang kedua. Nubuat ini membuktikan bahwa Kerajaan Allah akan didirikan di bumi, dan bukan di surga.

Bahwa Kerajaan itu akan didirikan pada saat kedatangan Kristus, adalah tema pada bagian-bagian lain dari Alkitab. Paulus mengatakan bahwa Yesus menghakimi orang yang hidup dan yang mati “demi pernyataannya dan demi kerajaannya” (2 Tim. 4:1). Mikha 4:11 mengutip ayat di buku Daniel sehubungan dengan Kerajaan Allah, yang disamakan dengan gunung yang besar; “Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung rumah Tuhan akan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit.” Selanjutnya dijelaskan bahwa kerajaan itu akan didirikan di bumi (Mi. 4:1-4). Karena itu Allah akan menyerahkan takhta Daud kepada Yesus di Yerusalem: “Ia akan menjadi Raja…sampai selama-lamanya dan Kerajaannya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:32,33). Hal ini ditetapkan sebagai poin tersendiri sebelum Yesus mulai memerintah dari takhta Daud; yang akan terjadi pada saat kedatangan Kristus, berdasarkan; “Kerajaannya tidak akan berkesudahan” dikaitkan dengan Daniel 2:44; “Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain.” Wahyu 11:15 juga menggunakan bahasa yang sama sewaktu menjelaskan tentang kedatangan Kristus yang kedua, “Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapiNya, dan Ia akan memerintah sebagai Raja sampai selama-lamanya.” Sekali lagi ditegaskan, bahwa ada waktu yang spesifik bagi Kerajaan Kristus untuk memulai pemerintahannya di bumi, yaitu pada saat kedatangannya.

Jumat, 04 November 2011

Neraka, sebuah pengertian menurut Alkitab

Konsep tentang Neraka yang dipahami secara umum adalah, tempat penghukuman bagi “jiwa-jiwa” abadi yang jahat, setelah kematian mereka. Atau tempat penykisaan bagi mereka yang ditolak pada waktu penghakiman. Menurut keyakinan kami, Alkitab mengajarkan bahwa neraka adalah kuburan, yaitu tempat yang dituju oleh semua orang pada waktu mereka mati.

Kata Ibrani “Sheol” yang diterjemahkan sebagai “neraka”, mempunyai arti “tempat yang terlindungi.” Kata “Neraka” berasal dari ungkapan dalam bahasa Inggris untuk “Sheol.” Jadi, sewaktu kita membaca kata “neraka” di dalam Alkitab, kata tersebut tidak diterjemahkan sebagaimana mestinya. Contoh, kata “helm” yang berasal dari kata “hell-met”, yang artinya pelindung kepala. Menurut pengertian Alkitab. “tempat yang terlindungi” ini, atau “neraka” adalah kuburan. Banyak contoh dari ayat-ayat yang menerjemahkan kata “Sheol” sebagai “kuburan.” Pada beberapa Alkitab terjemahan modern, hampir tidak menggunakan kata “neraka” untuk menerjemahkan kata “Sheol.” Tetapi diterjemahkan sebagai “kuburan.” Beberapa contoh tentang penggunaan kata “Sheol”, yang diterjemahkan sebagai “kuburan”, akan meluluhlantakkan konsep tentang neraka sebagai tempat pembakaran dan penyiksaan bagi orang-orang jahat;

- “Biarlah orang-orang fasik…turun ke “dunia orang mati” dan bungkam (“Sheol” Mzm. 31:18). Tidak dikatakan bahwa mereka akan menjerit dari sana.

- “Allah akan membebaskan nyawaku dari cengkeraman “dunia orang mati” (“Sheol” Mzm. 49:16). Tubuh atau jiwa dari Daud, akan dibangkitkan dari kuburan atau “neraka.”

Kepercayaan akan neraka sebagai tempat penghukuman bagi orang-orang jahat, dimana mereka tak bisa melarikan diri dari tempat itu, tidak bisa disamakan dengan hal ini, Karena orang-orang yang benar dapat masuk ke neraka (kuburan) dan keluar lagi. Hosea 13:14 membenarkan tentang hal ini; “Akan kukebaskankah mereka (umat Allah) dari kuasa dunia orang mati, akan kutebuskah mereka daripada maut.” Ayat ini juga dikutip oleh I Korintus 15:55, dan mengaitkannya dengan kebangkitan yang terjadi sewaktu Kristus datang. Demikian juga dengan penglihatan tetang kebangkitan kedua (lihat pelajaran 5.5), “maut dan kerajaan maut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya” (Why. 20:13). Catat, ada kaitannya antara maut (kuburan) dengan kerajaan maut (neraka) (lihat juga Mzm. 6:6).

Kata-kata Hana di I Samuel 2:6 sangat jelas sekali; “Tuhan mematikan dan menghidupkan, Ia menurunkan ke dalam dunia orang mati (Sheol) dan mengangkat dari sana.” Dengan memperhatikan bahwa “neraka” dikatakan sebagai kuburan, sangat diharapkan agar orang-orang benar akan diselamatkan dari sana melalui kebangkitan untuk hidup abadi. Jadi, adalah mungkin untuk masuk ke dalam “neraka” atau kuburan, kemudian keluar dari sana melalui kebangkitan. Contoh yang paling jelas terdapat pada Yesus, “Dia tidak ditinggalkan di dalam dunia orang mati, dan bahwa dagingnya tidak mengalami kebinasaan” (Kis. 2:31), karena Ia dibangkitkan. Catat, hubungan antara “jiwa” Kristus dengan “daging” atau tubuhnya. Tubuhnya “tidak ditinggalkan di dalam dunia orang mati”, yang secara tidak langsung mengatakan ada suatu masa, yaitu tiga hari, dimana tubuhnya berada di dalam kuburan. Maka, kepergian Kristus ke “neraka, menjadi bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa tempat itu bukan hanya dituju oleh orang-orang jahat. Oleh karena itu, orang yang baik maupun yang jahat, akan menuju ke “neraka”, yaitu kuburan. Seperti halnya Yesus yang ditempatkan “kuburnya di antara orang-orang fasik” (Yes. 53:9). Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa contoh dari orang-orang yang benar, yang pergi ke neraka, yaitu kuburan. Misalnya Yakub, yang mengatakan bahwa, demi anaknya Yusuf, ia akan “berkabung sampai turun mendapatkan anakku, kedalam dunia orang mati!” (Kej. 37:35).

Salah satu dari prinsip-prinsip Allah adalah, bahwa hukuman atas dosa adalah kematian (Rm. 6:23, 8:13; Yak. 1:15). Bahwa kematian adalah ketidaksadaran sepenuhnya. Pembinasaan sepenuhnya sebagai akibat dari dosa dan bukan penyiksaan abadi (Mat. 21:41; 22:7, Mrk. 12:9, Yak. 4:12), sebagaimana halnya dengan orang-orang yang dibinasakan melalui air bah (Luk. 17:27,29), dan seperti orang-orang Israel yang mati di padang gurun (I Kor. 10:10). Dalam dua peristiwa ini, orang-orang yang berdosa dihukum mati, tetapi tidak disiksa selamanya. Oleh karena itu, mustahil jika orang-orang yang jahat, dalam keabadiannya dihukum dengan penyiksaan dan penderitaan selama-lamanya.

Seperti yang kita lihat sebelumnya, Allah tidak memperhitungkan dosa atau menambahkannya ke dalam catatan kita, jika kita tidak mengetahui firmanNya (Rm. 5:13). Mereka yang berada dalam posisi ini, akan tetap mati. Dan bagi mereka yang mengetahui persyaratan dari Allah, akan dibangkitkan dan dihakimi pada saat kedatangan Kristus. Kemudian orang-orang jahat yang ada di antara mereka akan menerima kematian sebagai hukuman atas perbuatan mereka, hal ini disebabkan karena hukuman atas dosa adalah maut. Karena itu, sesudah kedatangan Kristus mereka akan dihadapkan kepada takhta penghakiman Kristus, dan akan dihukum mati sampai selamanya. Inilah yang disebut dengan ”kematian kedua”, yang terdapat di Wahyu 2:11, 20:6. Orang-orang ini, yang telah mengalami kematian sebelumnya, akan dibangkitkan untuk dihakimi pada saat kedatangan Kristus, dan akan dihukum dengan kematian yang kedua, sama seperti kematian yang pertama, tetapi, yang kedua akan berlangsung untuk selamanya.

Atas dasar ini, yaitu bahwa hukuman atas dosa akan berlangsung ”selama-lamanya”, maka tidak ada akhir bagi kematian mereka. Mati untuk selamanya adalah hukuman yang abadi. Contoh tentang penggunaan ungkapan seperti ini di dalam Alkitab, dapat ditemukan di Ulangan 11:4. Yang menjelaskan tentang pembinasaan tentara firaun oleh Allah di laut merah sebagai pembinasaan abadi. Dengan demikian, tentara-tentara firaun tidak dapat mengganggu bangsa Israel lagi, ”Ia membuat air laut teberau meluap meliputi mereka...sehingga Tuhan membinasakan mereka untuk selamanya.”

Pada masa Perjanjian Lama yang mula-mula, orang-orang yang percaya memahami bahwa akan ada kebangkitan pada hari terakhir, setelah orang-orang jahat yang bertanggung jawab pada penghakiman kembali ke kuburan. Ayub 21:30,32 dengan jelas menyatakan: ”orang jahat terlindung pada hari pada hari kebinasaan dan diselamatkan (dibangkitkan) pada hari murka Allah...Dialah yang (kemudian) dibawa ke kuburan.” Salah satu dari perumpamaan-perumpamaan tentang kedatangan kembali Kristus dan penghakiman, berbicara tentang orang-orang jahat yang akan ”dibunuh” pada saat kehadirannya (Luk. 19:27). Tetapi, ayat ini dipaksa agar selaras dengan gagasan tentang orang-orang jahat yang tetap hidup selamanya untuk menerima penyiksaan. Dalam kasus tertentu, hal ini menjadi suatu hukuman yang tidak beralasan. Penyiksaan abadi atas perbuatan-perbuatan selama kurang lebih 70 tahun. Tuhan tidak berkenan atas kematian orang-orang jahat; oleh karena itu. Ia tidak membebankan hukuman kepada mereka untuk selamanya (Yeh. 18:23,32; 33:11 bandingkan II Ptr. 3:9).

Kekristenan yang murtad sering kali mengaitkan ”neraka” dengan gagasan tentang api penyiksaan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Alkitab tentang neraka (kuburan), ”Seperti domba mereka meluncur ke dalam dunia orang mati (neraka), digembalakan oleh maut” (mzm. 49:14), yang secara tidak langsung mengatakan bahwa kuburan adalah tempat penuh kedamaian yang akan segera dilupakan. Walaupun begitu, ketika tubuh atau jiwa dari Kristus berada di dalam neraka selama tiga hari, dagingnya tidak binasa (Kis. 2:31). Hal ini tidak akan mungkin terjadi, jika neraka adalah suatu tempat yang penuh dengan api. Yehezkiel 32:26-30 memberikan gambaran tentang para pahlawan besar dari segala bangsa yang terbaring dengan damai di kuburan mereka: ”pahlawan-pahlawan yang mati (dalam peperangan)...yang turun ke dunia orang mati bersama segala senjata perangnya dan yang pedang-pedangnya ditaruh orang dibawah kepalanya...mereka dibaringkan...dekat orang-orang yang turun ke liang kubur.” Hal ini menunjuk pada cara penguburan para pahlawan yang biasa dilakukan, dengan turut menguburkan senjata-senjata mereka, dan meletakkan kepala jenazah di atas pedang mereka. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa neraka bukanlah suatu arena penyiksaan rohani. Karena itu, Petrus berkata kepada orang yang jahat, ”Binasalah kiranya uang itu bersama dengan engkau” (Kis. 8:20). Catatan mengenai pengalaman Yunus, juga bertentangan dengan gagasan tentang ”neraka”; setelah ditelan hidup-hidup oleh ikan paus, ”berdoalah Yunus kepada Tuhan, Allahnya, dari dalam perut ikan itu, katanya, ”Dalam kesusahan aku berseru kepada Tuhan...dari tengah-tengah dunia orang mati aku berteriak” (Tim. 2:1,2). Ayat ini mengkaitkan dunia orang mati dengan perut ikan paus. Perut ikan paus itu adalah ”tempat yang terlindung”, yang secara umum mengartikan ”Sheol”, yang diterjemahkan sebagai ”neraka.” Jelas sekali, bahwa neraka bukanlah tempat yang penuh dengan api, karena Yunus dapat keluar dengan selamat dari ”dunia orang mati” dengan cara dimuntahkan oleh ikan paus itu. Hal ini memberikan gambaran ke depan tentang kebangkitan Kristus dari ”neraka” (kuburan), lihat Matius 12:40.

Api Simbolis

Alkitab seringkali menggunakan kata-kata api abadi dengan tujuan untuk menggambarkan kemarahan Allah atas dosa, yaitu dengan cara membinasakan sepenuhnya orang-orang berdosa di dalam kuburan. Sodom dihukum dengan api abadi (Yudas 7), yaitu pembinasaan menyeluruh atas keberadaan orang-orang jahat. Pada saat ini, kota tersebut hanya tinggal puing-puing di dasar laut mati; dan tidak dibakar dengan api abadi. Hal ini penting sekali diketahui untuk memahami arti dari ”api abadi” yang sebenarnya. Seperti halnya Yerusalem, yang dibakar dengan api abadi dari kemarahan Allah, sebagai akibat atas dosa-dosa Israel; ”Aku akan menyalakan api, yang akan memakan habis puri-puri Yerusalem, dan yang tidak akan terpadamkan” (Yer. 17:27). Karena di masa depan Yerusalem dinubuatkan sebagai ibukota dari Kerajaan Allah (Yes. 2:2-4; Mzm. 48:2), Oleh karena itu, Allah tidak bermaksud agar kita mengartikan api abadi secara harfiah. Bait suci di Yerusalem telah dimusnahkan dengan api (II Raj. 25:9), tapi api tersebut tidak terus membakar Yerusalem sampai selamanya.

Hal yang serupa terjadi ketika Allah membinasakan Edom dengan api. ”Siang dan malam negeri itu tidak akan padam-padam, asapnya naik untuk selama-lamanya, negeri itu menjadi reruntuhan turun-temurun...burung hantu dan burung gagak akan tinggal di dalamnya...duri-duri akan tumbuh di puri-purinya” (Yes. 34:9-15). Dengan memperhatikan bahwa binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan tetap ada di atas reruntuhan Edom, maka api abadi pastilah mengartikan kemarahan Allah untuk membinasakan tempat itu, dan tidak diartikan secara harfiah.

Kat-kata Ibrani dan Yunani yang diterjemahkan menjadi ”untuk selamanya”; seharusnya diterjemahkan menjadi ”untuk suatu masa.” Kadang-kadang hal ini mengartikan suatu periode waktu tanpa batas, misalnya zaman Raja-raja, tapi tidak akan berlangsung seterusnya. Contoh yang tepat terdapat di Yes. 32:14,15; ”Bukit dan menara sudah menjadi tanah rata untuk selama-lamanya...sampai dicurahkan kepada kita Roh dari atas.” Hal ini merupakan suatu cara untuk memahami arti dari kata ”abadi/selama-lamanya” seperti pada kata ”api abadi”, yang terdapat di dalam Alkitab. Berulang kali kemarahan Allah terhadap dosa-dosa Yerusalem disamakan dengan api; ”Sesungguhnya, murkaku dan kehangatan amarahku akan tercurah ke tempat ini (Yerusalem)...amarah itu akan menyala-nyala dengan tidak padam-padam.” (Yer. 7:20; contoh yang lain terdapat di Rat. 4:11 dan II Raj. 22 :17).

Api juga dikaitkan dengan penghakiman Allah atas dosa, khususnya pada saat kedatangan Kristus ; ”Bahwa sesungguhnya hari itu datang, menyala seperti perapian maka semua orang gegabah dan setiap orang yang berbuat fasik menjadi seperti jerami dan akan terbakar oleh hari yang datang itu ”(Mal. 4 :1). Ketika Jerami tau bahkan tubuh manusia dibakar, mereka akan kembali menjadi debu. Mustahil, jika suatu zat, khususnya daging manusia, dapat terbakar selamanya. Oleh karena itu, kata ”api abadi” tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai penyiksaan abadi. Api tidak akan terus menerus menyala, jika tidak ada sesuatu yang dibakar. Perlu dicatat, bahwa ”neraka” akan ”dilemparkan ke dalam lautan api” (Why. 20:14). Hal ini, mengindikasikan bahwa neraka tidaklah sama dengan ”lautan api”; tetapi hal ini diartikan sebagai pembinasaan sepenuhnya. Dalam pengertian simbolis di dalam buku Wahyu, dikatakan bahwa pada akhirnya kuburan akan dibinasakan, karena diakhir Kerajaan 1000 tahun tidak akan ada lagi kematian.

Gehenna

Dalam Perjanjian Baru ada dua kata Yunani yang diterjemahkan sebagai ”neraka.” Pertama, ”Hades”, yang mempunyai arti yang sama dengan kata Ibrani ”Sheol”, seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Kedua, ”Gehenna”, adalah nama dari tempat pembuangan sampah yang terletak di luar Yerusalem, dimana sampah-sampah dari kota itu dibakar disana. Tempat pembuangan sampah yang serupa juga terdapat di beberapa kota pada saat ini (misalnya, ”Smokey Mountain” yang terletak di luar kota Manila, Filipina). Sebagai nama tempat, tidak seharusnya ”Gehenna” diterjemahkan menjadi ”neraka.” ”Gehenna” adalah kata dalam bahasa Aramaik, yang mempunyai arti yang sama dengan kata Ibrani ”Ge-Ben-Hinnon.” tempat ini terletak di dekat Yerusalem (Yos. 15:8). Pada zaman Kristus, kota ini menjadi tempat pembuangan sampah. Jenazah dari para penjahat dilemparkan ke dalam api yang selalu menyala di tempat itu. Karena itu, Gehenna menjadi simbolis dari pembinasaan sepenuhnya.

Kembali kepada intinya, apa yang dilemparkan ke dalam api, tidak akan dapat bertahan untuk selamanya, mayat-mayat itu akan membusuk di dalam debu. ”Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Ibr. 12:29), pada hari penghakiman. Api kemarahanNya terhadap dosa akan memakan habis orang-orang yang berdosa, yang akan dibinasakan untuk selamanya, dan tidak membuat mereka hangus terbakar dan tetap hidup. Sewaktu Allah menghakimi umatNya, Israel, dengan menyerahkan mereka ke tangan orang Babilon, Gehenna dipenuhi dengan mayat-mayat dari orang-orang yang berdosa dari antara umatNya (Yer. 7:32,33).

Dalam pengajarannya yang mengagumkan, Yesus juga menggunakan semua gagasan dari Perjanjian Lama tentang penggunaan kata ”Gehenna.” Dia seringkali mengatakan bahwa mereka yang ditolak pada waktu penghakiman ketika Ia datang, akan ”dibuang ke dalam api yang tak terpadamkan. Di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam” (Mrk. 9:43,44). Orang-orang Yahudi memahami kata Gehenna sebagai tempat pembinasaan tubuh, dan api abadi sebagai ungkapan dari kemarahan Allah atas dosa, dengan membinasakan orang-orang yang berdosa melalui kematian.

Kalimat ”Di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam” yang terdapat pada referensi diatas; adalah bagian dari ungkapan yang sama tentang pembinasaan sepenuhnya, karena mustahil, ada cacing yang tidak dapat mati. Fakta bahwa Gehenna adalah tempat penghukuman bagi orang-orang jahat yang berada di antara umat Allah, dengan kecerdasannya, Yesus menjelaskan hal tersebut melalui gambaran yang tepat tentang Gehenna.


wikipedia:
Sheol (play /ˈʃl/ shee-ohl or /ˈʃəl/ shee-əlHebrew שְׁאוֹל Šʾôl) is the "grave", "pit", or "abyss" in Hebrew.[1][2] She'ol[3] is the earliest conception of the afterlife in the Jewish scriptures. It is a place of darkness to which all dead go, regardless of the moral choices made in life, and where they are "removed from the light of God" (see the Book of Job). In the Tanakh sheol is the common destination of both the righteous and the unrighteous flesh, as recounted in Ecclesiastes and Job.


Gehenna (Greek γέεννα), Gehinnom (Rabbinical Hebrewגהנום/גהנם) and Yiddish Gehinnam, are terms derived from a place outside ancient Jerusalemknown in the Hebrew Bible as the Valley of the Son of Hinnom (Hebrew: גֵיא בֶן־הִנֹּם or גיא בן-הינום); one of the two principal valleys surrounding the Old City.  That has been interpreted as analogous to the concept of "Hell" or "Purgatory"