Dengan majunya peradaban manusia setelah zaman Adam dan Hawa, manusia menjadi bertambah jahat. Hal tersebut mencapai puncaknya ketika peradaban secara moril sangat menyedihkan yang menyebabkan Allah memutuskan untuk membinasakan semuanya dengan pengecualian Nuh dan keluarganya (Kej. 6:5-8).
Nuh diperintahkan untuk membuat bahtera, dimana dia dan segala jenis binatang, hidup selama waktu pembinasaan dunia melalui air bah. Dengan berlalunya waktu, terpisah dari pernyataan yang jelas di dalam tulisan kudus, berdasarkan bukti-bukti ilmiah kita dapat mempercayai bahwa air bah benar-benar pernah terjadi.
Bumi tidak dihancurkan, tetapi hanya orang-orang jahat yang merusak bumi yang dibinasakan; “binasalah segala yang hidup yang bergerak di bumi” (Kej. 7:21).
Yesus (Mat. 24:37) dan Petrus (II Ptr. 3:6-12) menunjukkan bahwa penghakiman yang terjadi pada zaman Nuh serupa dengan apa yang terjadi pada kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Karena itu keadaan orang-orang jahat yang menyedihkan yang hidup pada zaman Nuh, sama dengan orang-orang jahat yang hidup pada saat ini, yang akan dihukum pada waktu kedatangan Kristus.
Karena semakin meningkatnya jumlah orang-orang yang berdosa dan kegiatan-kegiatan yang merusak planet ini, maka timbullah suatu keyakinan diantara orang-orang Kristen, bahwa bumi akan dihancurkan. Gagasan ini menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang dasar-dasar Alkitab, yaitu tentang tujuan Allah terhadap planet ini untuk mendirikan KerajaanNya pada saat kedatangan Yesus. Jika manusia diizinkan untuk merusak planet ini, maka janji Allah tidak bisa dipegang. Berikut ini adalah bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa bumi dan matahari tidak akan dihancurkan:
- “bumi yang didasarkannya untuk selama-lamanya” (Mzm. 78:69).
- “bumi tetap ada” (Pkh. 1:4).
- “matahari dan bulan…bintang…langit…Dia mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar” (Mzm. 148:3-6)
- “seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan, seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes. 11:9; Bil. 14:21). Sulit terjadi , jika Allah menghendaki bumi ini hancur, maka janji ini tidak akan digenapi.
- “Dialah Allah yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang menegakkannya, dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong, tetapi Ia membentuknya untuk didiami” (Yes. 45:18). Jika Allah menciptakan bumi hanya untuk dihancurkan, maka sia-sialah pekerjaannya.
Kembali pada kisah di Kejadian, Allah telah menjanjikan semua hal ini kepada Nuh. Ketika dia mulai menjalani kehidupannya dari awal lagi di dalam dunia baru yang diciptakan melalui air bah, Allah membuat perjanjian (suatu perjanjian yang bertahap), bahwa air bah tidak terjadi lagi.:
- “sesungguhnya Aku mengadakan perjanjianKu dengan kamu…Maka Kuadakan perjanjianKu dengan kamu (catat, bagaimana kata “Aku” ditegaskan, Allah yang mulia bersedia membuat perjanjian dengan manusia yang berdosa!”), bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi” (Kej. 9:9-11).
Pelangi adalah tanda dari perjanjian ini:
- “Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan, maka Aku akan mengingat perjanjianKu yang telah ada antara Aku dan kamu...perjanjianKu yang kekal antara Allah dan segala makhluk yan hidup, segala makhluk yang ada di bumi...Inilah (pelangi) tanda perjanjian yang Kuadakan” (Kej. 9:14-17).
Karena hal itu adalah perjanjian yang abadi antara Allah dengan manusia dan binatang-binatang di bumi, maka bumi haruslah tetap dihuni oleh mereka selamanya. Inilah bukti bahwa Kerajaan Allah akan didirikan di bumi, bukan di surga.
Karena itu janji kepada Nuh merupakan dasar dari Injil Kebenaran; hal itu menunjukkan bahwa perhatian Allah terfokus pada planet ini, dengan membuat suatu perjanjian yang abadi. Dalam kemurkaanNya Dia masih mengingat pengampunan (Hab. 3:2), dengan kasihNya yang seperti itu, Ia bahkan masih memperhatikan binatang ciptaanNya (I Kor. 9:9 bandingkan Yun. 4:11).