Rabu, 28 September 2011

Kematian adalah Ketidaksadaran


Tentang jiwa dan roh, seharusnya sudah dimengerti bahwa ketika seseorang mati, ia betul-betul tidak sadarkan diri sepenuhnya. Semua perbuatan mereka yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, diingat oleh Nya (Mal. 3:16, Why. 20:12, Ibr. 6:10). Alkitab sama sekali tidak mencatat bahwa dalam kematian kita masih sadarkan diri di dalam bentuk yang lain. Sulit sekali untuk membantah pernyataan-pernyataan yang jelas berikut ini sehubungan dengan hal tersebut;

-         “Apabila nyawanya (manusia) melayang, ia kembali ke tanah; pada hari (kejadian) itu juga lenyaplah maksud-maksudnya” (Mzm. 146:4)
-         “orang yang mati tak tahu apa-apa…Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang” (Pkh. 9:5,6). Tidak ada “hikmat dalam dunia orang mati” (Pkh. 9:10). Karena tidak ada pemikiran maka tidak ada kesadaran.
-         Ayub mengatakan bahwa jika dia mati sama halnya dengan dia “tidak pernah ada” (Ayub 10:18,19), Dia memandang kematian sebagai keadaan tidak sadarkan diri, dan sama sekali tidak tahu menahu tentang segala sesuatu, seperti yang terjadi sebelum seseorang dilahirkan.
-         Sebagaimana manusia mati, demikian juga binatang (Pkh. 3:18); baik di dalam tulisan kudus maupun ilmu pengetahuan tidak akan menyatakan hal ini jika manusia secara sadar dapat dengan selamat melalui kematian dan berada di suatu tempat.
-         Allah tahu, “bahwa kita ini debu. Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga…maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi” (Mazmur 103:14-16)

Kematian adalah ketidaksadaran sepenuhnya, bahkan orang-orang yang benar juga mengalaminya. Hal ini dapat diketahui melalui permohonan yang diulang-ulang oleh hamba-hamba Allah agar memperpanjang hidup mereka. Karena mereka tahu jika mereka mati, mereka tidak dapat lagi memuji dan memuliakan Allah, dengan melihat bahwa kematian adalah ketidaksadaran. Hezekiah (Yes. 38:17-19) dan Daud (Mzm. 6:4,5; 30:9; 39:13; 115:17) adalah contoh yang tepat tentang hal ini. Kematian seringkali diartikan seperti keadaan sedang tidur atau beristirahat, bagi orang-orang yang benar maupun orang yang jahat (Ayub 3:11,13,17; Dan. 12:13).

Sekarang kita mempunyai bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa pendapat tentang orang-orang yang benar yang hidup bahagia di surga sebagai upahnya setelah kematian mereka, sama sekali tidak terdapat di dalam Alkitab. Dengan memahami doktrin yang benar tentang kematian dan alam manusia, akan membuat kita memahami arti dari kedamaian yang sesungguhnya. Setelah mengalami berbagai masalah dan penderitaan dalam hidupnya, kuburan adalah satu-satunya tempat dimana manusia akan dilupakan. Bagi mereka yang tidak mengetahui syarat-syarat yang ditetapkan Allah, mereka akan terus dilupakan sampai selama-lamanya. Lembaran hidup lama yang tragis dan tidak diharapkan terjadi, tidak akan muncul kembali; segala harapan yang sia-sia dan segala ketakutan yang berada di dalam pikiran tidak akan menganacam lagi, atau tidak akan diingat lagi.

Sewaktu mempelajari Alkitab kita dapat menemukan suatu sistem kebenaran; tapi sayang sekali ada orang yang salah memahami hal tersebut. Karena kurang memperhatikan Alkitab. Usaha mereka yang menyedihkan ini akhirnya membuat mereka salah memahami arti dari kematian, sehingga terciptalah gagasan “jiwa abadi” sekali gagasan ini diterima, yaitu tentang elemen-elemen keabadian yang terdapat dalam diri manusia, maka hal ini akan menjadi alasan penting untuk mengetahui kemana perginya roh tersebut setelah kematian. Dan terciptalah pemikiran bahwa pada waktu kematian perbedaan nasib antara orang-orang yang benar dan yang jahat. Untuk mendukung hal ini, maka tersiptalah gagasan bahwa ada tempat baigi “jiwa-jiwa abadi yang baik” untuk dituju, yaitu surga; dan tempat bagi “jiwa-jiwa abadi yang jahat”, yaitu neraka. Sejak permulaan kami telah menunjukkan bahwa “jiwa yang abadi” adalah mustahil ajaran dari Alkitab. Mengenai gagasan lain yang salah, yang cukup populer dalam bertukar pikiran, akan kita analisa sekarang;

  1. Pada waktu kematian kita akan ditempatkan di tempat tertentu, dalam bentuk “jiwa yang abadi” sebagai upah atas segala perbuatan kita.
  2. Pada waktu kematian ada pemisahan antara orang-orang yang baik dan yang jahat.
  3. Upah bagi orang-orang yang benar adalah pergi ke surga
  4. Jika setiap orang mempunyai ”jiwa yang abadi”, maka setiap orang dapat pergi menuju ke surga maupun neraka.
  5. ”jiwa-jiwa” yang jahat akan pergi ke tempat penghukuman yang disebut neraka.

Dengan memperhatikan hal-hal ini lebih detail lagi, kami yakin dapat menjelaskan berbagai elemen kebenaran dari Alkitab yang merupakan bagian-bagian penting dari gambaran yang benar sehubungan dengan alam manusia.

Rabu, 21 September 2011

Roh Manusia

Banyak orang yang bingung mengenai perbedaan antara jiwa dan roh. Hal ini semakin menjengkelkan karena dalam beberapa bahasa dan terjemahan Alkitab, penerjemahan kata dalam bahasa Inggris “soul” dan “spirit” hanya diterjemahkan ke dalam satu kata. Kata “jiwa” secara umum menunjuk kepada semua unsur dalam diri seseorang, dan kadang-kadang juga bisa menunjuk kepada roh. Bagaimanapun juga, pada umumnya terdapat perbedaan antara “jiwa” dan “roh” yang digunakan dalam Alkitab. Karena jiwa dan roh dapat dipisahkan (Ibr. 4:12).  Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. 

Kata Ibrani dan Yunani untuk “roh” (ruakh” dan “pneuma”) juga diterjemahkan sebagai;
  • Hidup
  • Roh
  • Pikiran 
  • Angin
  • Nafas


Allah menggunakan rohNya untuk menciptakan seluruh alam semesta, dan juga manusia. Oleh karena itu, Roh Allah yang terdapat di dalam manusia adalah daya kehidupan yang berada dalam dirinya. “Tubuh tanpa roh adalah mati” (Yak. 2:26). “(Allah) menghembuskan nafas (roh) hidup ke dalam hidungnya (adam); demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7). Ayub juga berbicara tentang “Roh Allah” yang “masih di dalam lubang hidungku” (Ayub 27:3 bandingkan Yes. 2:22). Karena itu, roh kehidupan yang terdapat dalam diri kita, diberikan pada waktu kita lahir, dan akan tetap ada selama kita masih hidup. Ketika Roh Allah tidak lagi bekerja, maka segala sesuatu akan berakhir, karena rohlah yang menghidupkan segala sesuatu. Jika Allah “menarik kembali RohNya, dan mengembalikan nafasNya kepadaNya maka binasalah bersama-sama segala yang hidup, dan kembalilah manusia kepada debu. Jikalau engkau berakal budi, dengarkanlah ini” (Ayub 34:14-16). Pada kalimat terakhir ditunjukkan bahwa manusia akan menemui kesulitan dalam memahami alam mereka yang sebenarnya.

Ketika Allah menarik kembali RohNya pada waktu kita mati, tidak hanya tubuh fisik kita yang mati, tapi seluruhnya juga akan mati. Pengetahuan Daud tentang hal ini telah membimbingnya untuk percaya kepada Allah daripada makhluk-makhluk ciptaan yang lemah seperti manusia. Mazmur 146:3-5 adalah alasan yang kuat untuk menangkis klaim dari humanisme; “Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan. Apabila nyawanya (roh) melayang, ia kembali ke tanah (karena dibuat dari debu); pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya. Berbahagialah orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong.”

Pada waktu kematian, “debu (akan) kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya” (Pkh. 12:7). Di awal pelajaran ini kamu telah menjelaskan bahwa Allah hadir dimana saja melalui rohNya. Dalam konteks “Allah adalah roh” (Yoh. 4:24). Pada waktu kita mati, kita “menghirup nafas terakhir”, yaitu dalam arti bahwa Roh Allah yang berada dalam diri kita akan meninggalkan kita. Roh itu akan terhisap ke dalam Roh Allah yang berada di sekeliling kita. Jadi, pada waktu kematian “roh akan kembali kepada Allah.”

Karena Roh Allah yang menopang seluruh ciptaan, maka proses kematian yang terjadi pada manusia juga terjadi pada binatang. Manusia dan binatang mempunyai roh, atau daya kehidupan yang sama di dalam diri mereka. “Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas (roh) yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh. 3:19). Penulis buku Pengkhotbah mengatakan, bahwa tak terlihat perbedaan tentang kemana roh manusia dan binatang pergi (Pkh. 3:21). Penjelasan tentang manusia dan binatang memiliki roh yang sama dan juga mengalami proses kematian yang sama, muncul untuk menyinggung kembali penjelasan tentang manusia dan binatang, yang keduanya memiliki roh kehidupan dari Allah (Kej. 2:7; 7:15), dibinasakan dengan kematian yang sama melalui air bah: “Lalu mati binasalah segala yang hidup, yang bergerak di bumi, burung-burung, ternak dan binatang liar dan segala binatang merayap, yang berkeriapan di bumi serta semua manusia. Matilah segala yang ada nafas (roh) hidup dalam hidungnya…semuanya itu dihapuskan dari atas bumi” (Kej. 7:21-23). Catat, sebagai tambahan, Mazmur 90:5 menyamakan kematian dengan air bah. Catatan pada Kejadian 7 dengan jelas menunjukkan bahwa dalam pengertian umum, manusia termasuk dalam kategori “segala yang hidup, yang bergerak di bumi.” Dikatakan seperti ini karena manusia mempunyai roh kehidupan yang sama seperti makhluk ciptaan yang lain.

Rabu, 14 September 2011

Tubuh dan Jiwa

Telah dapat dipahami bahwa manusia tidak memiliki “jiwa yang abadi” atau unsur-unsur keabadian yang terdapat dalam dirinya secara alami. 
Didalam Alkitab, kata Ibrani dan Yunani yang diterjemahkan sebagai “jiwa” (“nefes” dan “psykhe”) juga diterjemahkan sebagai:

  • Tubuh Nafas
  • Ciptaan Hati
  • Pikiran Orang
  • Diri sendiri


Oleh karena itu kata “jiwa” menunjuk kepada orang, tubuh, atau diri sendiri. Isyarat darurat yang terkenal, “Save Our Souls” (SOS), dengan jelas sekali mengartikan “Selamatkan kami dari kematian!” Kata jiwa diartikan sebagai kami, atau segala sesuatu yang menyangkut seorang manusia. Karena itu dapat dimengerti jika banyak terjemahan Alkitab modern (misalnya NIV) yang jarang menggunakan kata “jiwa” untuk menerjemahkan kata itu, tapi kata yang digunakan adalah “manusia” atau “makhluk hidup.” Binatang-binatang yang diciptakan Allah, disebut: “makhluk yang hidup…segala jenis makhuk hidup yang bergerak” (Kej. 1:20,21). Pada ayat ini, kata Ibrani yang dterjemahkan sebagai “makhluk hidup” adalah “nefes”, yang juga diterjemahkan sebagai “jiwa”; sebagai contoh; Kejadian 2:7;”…demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Jadi, manusia disebut sebagai makhluk hidup, sama seperti binatang. Perbedaan antara manusia dan binatang adalah; secara rohani manusia lebih unggul daripada binatang, diciptakan menurut rupa secara fisik dari Allah (Kej. 1:26), kepada manusia diberitakan Injil, yang melaluinya harapan akan hidup abadi terbuka bagi mereka (II Tim. 1:10). Dalam hal pokok, sehubungan dengan hidup dan mati, tidak ada perbedaan antara manusia dengan binatang;

“Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka (sekali lagi ditegaskan); sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain…dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang…Kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya (manusia dan binatang) menuju satu tempat (kuburan); kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu” (Pkh. 3:19,20). Penulis kitab Pengkhotbah yang terilham berdoa kepada Allah agar membantu manusia menerima fakta yang sulit untuk diterima ini, “bahwa mereka (manusia) hanyalah binatang” (Pkh. 3:18). Oleh karena itu sangat diharapkan agar banyak orang menerima fakta yang sulit diterima ini; tentu saja hal ini memalukan, untuk menyadari bahwa secara alamiah kita hanyalah binatang; menggunakan naluri yang sama untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Terjemahan Alkitab NIV, pada Pengkhotbah 3:18, mengatakan Allah “menguji” manusia dengan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang; yaitu bagi mereka yang dengan rendah hati menjadi umatNya, akan menyadari kebenaran tentang hal ini. Bagi mereka yang tidak, akan gagal dalam melalui “ujian” ini. Filsafat humanisme, yaitu gagasan bahwa keberadaan manusia sangat penting dan, nilainya jauh lebih unggul daripada makhluk lain; telah menyebar ke seluruh dunia selama periode abad-20. Kita harus sedapat mungkin membersihkan pikiran kita dari pengaruh humanisme. Firman yang cukup jelas di Mazmur 39:6 dapat membantu; “setiap manusia hanyalah kesia-siaan!” “Manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya” (Yer. 10:23).

Satu dari hal-hal yang paling mendasar yang kita ketahui adalah bahwa seluruh tubuh manusia, termasuk semua “makhluk hidup” pasti akan mati. Karena itu “jiwa” juga akan mati; hal ini dengan tepat menentang hal-hal yang bersifat abadi. Tidak mengherankan bahwa sekitar 1/3 dari Alktiab menggunakan kata “jiwa” sehubungan dengan kematian dan pembinasaan atas jiwa. Faktanya, kata ”jiwa” yang digunakan pada ayat-ayat berikut ini menunjukkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat binasa dan abadi;

- ”Orang (jiwa) yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (Yer. 18:4)

- Allah dapat membinasakan jiwa (Mat. 10:28). Referensi lain tentang jiwa yang dapat dibinasakan terdapat di Yeh. 22:27, Ams. 6:32, Im. 23:30

- Semua ”jiwa” yang berada di Hazor dibunuh dengan pedang (Yos. 11:11 bandingkan Yos. 10:30-39)

- ”...matilah segala yang bernyawa (berjiwa)” (Why. 16:3 bandingkan Mzm. 78:50)

- Dalam Hukum Musa seringkali diperintahkan kepada setiap ”jiwa” yang tidak menaati hukum, haruslah dihukum mati (Ams. 18:7; 22:25; Ayub 7:15)

- ”orang-orang yang tidak dapat menyambung hidup”(Mzm. 22:29)

- Kristus ”telah menyerahkan nyawanya (jiwanya) ke dalam maut” sebagai korban penebus salah (Yes. 53:10,12)

Kata ”jiwa” menunjuk kepada manusia atau tubuh daripada mengarah kepada suatu hal yang bersifat abadi di dalam diri kita. Sebagian besar dari ayat-ayat yang didalamnya terdapat kata tersebut, menunjukkan hal ini. Beberapa contoh yang jelas sekali adalah:

- ”darah orang-orang” (Yer. 2:34)

- ”Apabila seseorang berbuat dosa, yakni jika ia mendengar seorang mengutuki...tetapi ia tidak mau memberi keterangan...atau bila sesorang kena kepada sesuatu yang najis...atau apabila seseorang (jiwa) bersumpah teledor dengan bibirnya” (Im. 5:1-4)

- ”hai jiwaku...hai segenap batinku...Pujilah Tuhan, hai jiwaku...Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan” (Mzm. 103:1,2,5).

- ”siapa yang mau menyelamatkan nyawanya(jiwanya), ia akan kehilangan nyawanya (jiwanya): tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya (jiwanya) karena Aku...ia akan menyelamatkannya” (Mrk. 8:35).Ini adalah buktui yang cukup untuk menyatakan bahwa kata jiwa tidak menunjuk kepada elemen spiritual di dalam diri manusia; pada ayat ini, kata ”jiwa” (Yunani ”psykhe”) mengartikan kehidupan dari seseorang, sebagaimana hal tersebut diterjemahkan.

- Bilangan 21:4 menunjukkan bahwa suatu kelompok dapat disebut sebagai ”jiwa”, karena itu ”jiwa” tidak menunjuk kepada suatu keabadian yang terdapat di dalam diri kita.

Senin, 05 September 2011

Hidup yang singkat

Sebagian besar manusia cenderung untuk menghabiskan waktu luangnya dengan bermeditasi tentang kematian, atau tentang alam mereka sendiri, dimana kematian menjadi penyebab utamanya. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman, yang kemudian menuntun kepada kurangnya wawasan, yang menyebabkan banyak orang tersesat di dalam hidupnya karena mengambil keputusan berdasarkan ketetapan-ketetapan menurut keinginan daging mereka sendiri.

Ada suatu penolakan, walaupun selalu ditutup-tutupi, untuk mengemukakan fakta bahwa kehidupan sangat singkat dan semuanya akan segera menuju kepada kematian. “Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” “Sebab kita pasti mati, kita seperti air yang tercurah ke bumi, yang tidak terkumpulkan.” “Seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi (masa muda kita) berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu.” (Yoh. 4:14; II Sam. 14:14; Mzm. 90:5,6). Musa, seorang yang bijaksana, memahami hal ini, dan memohon kepada Allah: ”Ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mzm. 90:12). Oleh karena itu, agar kita tangkas dalam menjalani hidup ini, kita harus berusaha memperoleh sejumlah hikmat yang benar sebagai prioritas yang utama.

Pendapat manusia tentang kematian sebagai akhir dari segala sesuatu berbeda-beda.. Beberapa kebudayaan berusaha untuk membuat kematian dan penguburan sebagai bagian dari hidup, untuk mempelajari rasa kehilangan dan akhir dari segala sesuatu. Sebagian besar dari mereka yang mengatasnamakan “Kristen”, telah membawa ke dalam pengajaran, gagasan tentang “jiwa yang abadi” atau suatu elemen dari keabadian yang setelah melalui kematian pergi ke suatu tempat untuk diberi upah atau dihukum. 

Kematian menjadi masalah yang paling pokok dan tragedi di dalam sejarah hidup manusia. Sangat diharapkan agar manusia cukup terlatih dalam mempelajari pengaruh terhadap mental seseorang akibat dari sejumlah besar teori yang salah, yang timbul sehubungan dengan kematian dan alam manusia. Seperti biasanya, hal-hal ini harus diuji dengan Alkitab, dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban yang benar sehubungan dengan topik yang cukup vital ini. 

Harus selalu diingat bahwa kebohongan pertama yang dicatat Alkitab dilakukan oleh ular di Taman Eden. Bertentangan dengan pernyataan Allah yang sangat jelas, bahwa manusia ”pasti mati” jika ia berbuat dosa (Kej. 2:17), ular itu mengatakan, ”Sekali-kali kamu tidak akan mati” (Kej. 3:4). Hal ini merupakan usaha untuk meniadakan suatu akhir dan kematian yang pasti terjadi, dan hal ini juga menjadi karakteristik dari semua agama palsu. 

Telah dibuktikan, bahwa satu doktrin yang salah selalu diikuti oleh yang lain, yang lain, dan yang lain. Sebaliknya, hanya sebagian kecil kebenaran yang diikuti oleh yang lain, seperti yang ditunjukkan di 1 Korintus 15:13-17. Disini Paulus membandingkan kebenaran yang satu dengan yang lain.

Untuk memahami alam kita yang sebenarnya, kita harus mengingat apa yang Alkitab katakan tentang penciptaan manusia. Dicatat dengan bahasa yang jelas, yang dapat diartikan secara harfiah sehingga kita tidak ragu-ragu untuk mengetahui dengan tepat siapakah kita? ”Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah...karena dari situlah (tanah) engkau (adam) diambil: sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej. 2:7; 3:19). Disini sama sekali tidak ada petunjuk bahwa manusia itu mewarisi keabadian, dan tidak ada bagian dari dirinya yang akan hidup setelah kematian.

Alkitab menegaskan fakta bahwa manusia itu pada intinya terbuat dari debu: ”kamilah tanah liat” (Yes. 64:8); ”manusia pertama berasal dari debu tanah” dan bersifat jasmaniah (I Kor. 15:47); manusia ”dasarnya dalam debu” (Ayub 4:19); ”dan kembalilah manusia kepada debu” (Ayub 34:14,15). Abraham mengakui bahwa dirinya ”debu dan abu” (Kej. 18:27). Segera setelah pembangkangan terhadap perintah Allah terjadi di Taman Eden, Allah ”menghalau manusia itu”; supaya ”jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya” (Kej. 3:24,22). Hal ini tidak perlu dilakukan jika manusia memiliki unsur-unsur keabadian yang secara alami telah terdapat dalam dirinya.

Keabadian yang bersyarat

Firman yang terus-menerus diulangi dalam Injil adalah, bahwa manusia dapat menemukan jalan untuk memperoleh kehidupan abadi melalui pekerjaan Kristus. Inilah satu-satunya jenis keabadian yang dijelaskan dalam Alkitab. Dari sini, timbullah suatu gagasan tentang penderitaan abadi karena melakukan hal-hal yang salah, yang sama sekali tidak didukung oleh Alkitab. Satu-satunya cara untuk memperoleh keabadian adalah dengan mematuhi perintah-perintah Allah, dan bagi mereka yang taat akan hidup abadi dalam keadaan yang sempurna, sebagai upah bagi orang-orang yang benar. Ayat-ayat berikut ini cukup untuk menjelaskan, bahwa keabadian adalah suatu hal yang bersyarat, dan bukan sesuatu yang kita miliki secara alami;

- ”Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (II Tim. 1:10; I Yoh. 1:2)

- ”Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan dagingku dan minum darahku, Ia mempunyai hidup yang kekal dan aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” untuk memberikannya ”kehidupan abadi” (Yoh. 6:53,54). Di dalam Yohanes pasal 6, Kristus menjelaskan bahwa dia adalah ”roti hidup” dan hanya yang percaya kepadanya yang akan memperoleh keabadian (Yoh. 6:47,50,51,57,58)

- ”Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita, dan hidup itu ada di dalam AnakNya” (I Yoh. 5:11). Tidak ada harapan untuk mendapatkan keabadian bagi mereka yang tidak ”di dalam Kristus.” Hanya melalui Kristus keabadian akan diberikan, karena Dia adalah ”Pemimpin kepada hidup (abadi)” (Kis. 3:15), ”Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepadanya” (Ibr. 5:9). Oleh karena itu keabadian bagi manusia berasal dari pekerjaan Kristus.

- Orang-orang percaya yang benar yang mencari keabadian akan dikaruniai kehidupan abadi yang tidak dimiliki oleh mereka secara alami (Rm. 2:7; 6:23; Yoh. 10:28). Tubuh kita yang berkematian ”harus mengenakan yang tidak dapat binasa” pada saat kedatangan Kristus (I Kor. 15:53), karena itu keabadian adalah sesuatu yang dijanjikan, bukan sesuatu yang sudah dimiliki (I Yoh. 2:25).

- Hanya Allah satu-satunya yang memiliki keabadian (I Tim. 6:16).