Senin, 30 Januari 2012

Roh jahat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Roh-roh Jahat

Banyak orang berpikir Allah memberikan kita hal-hal yang baik di dalam hidup kita, dan iblis beserta pelayan-pelayannya memberikan kita hal-hal yang buruk, dan merampas hal-hal yang baik, yang diberikan Allah kepada kita.

Alkitab dengan jelas sekali mengajarkan, bahwa Allah adalah sumber dari segala kuasa , dan Ia bertanggungjawab atas hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk di dalam hidup kita;

“yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini” (Yes. 45:7).

“Sebab malapetaka turun daripada Tuhan sampai ke pintu gerbang Yerusalem” (Mi. 1:12).

“Adakah sangkakala ditiup di suatu kota, dan orang-orang tidak gemetar? Adakah terjadi malapetaka di suatu kota, dan Tuhan tidak melakukannya?” (Amos 3:6).

Oleh karena itu, jika kita mendapat masalah, kita harus menerima bahwa hal itu berasal dari Allah, dan tidak menyalahkan iblis atau roh-roh jahat. Seperti Ayub yang kehilangan hal-hal baik yang diberikan Allah kepadanya sebagai berkat; ia tidak mengatakan, “Roh-roh jahatlah yang telah mengambil semua yang diberikan Allah kepadaku.” Perhatikan apa yang dia katakan;

“Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayub 1:21)

“Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk” (Ayub 2:10).

Jika kita memahami bahwa segala hal berasal dari Allah, maka ketika kita menemui masalah di dalam kehidupan, kita dapat berdoa kepada Allah supaya ia menjauhkannya dari kita. Tapi, jika Ia tidak melakukannya, berarti Ia memberikan masalah itu kepada kita, agar kita dapat membangun karakter yang baik dan demi kebaikan kita di waktu yang akan datang;

“Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan (bukan roh-roh jahat!) menghajar orang yang dikasihinya, dan Ia menyesah orang yang diakuinya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ajaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Dimanakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” (Ibr. 12:5-8).

Allah sumber dari segala kuasa

Allah adalah sumber dari segala kuasa;

“Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain, kecuali Aku tidak ada Allah” (kata Ibrani yang diterjemahkan menjadi ”Allah”, mempunyai arti ”kuasa”) (Yes. 45:5)

“Adakah Allah selain daripadaku? Tidak ada gunung batu yang lain, tidak ada kukenal!” (Yes. 44:8)

”Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia” (Ul. 4:35)

Ayat-ayat tersebut muncul berulangkali di dalam Alkitab. Karena Allah adalah sumber dari segala kuasa satu-satunya. Oleh karenanya Ia adalah Allah yang pencemburu, seperti yang seringkali ia ingatkan kepada kita (Kel. 20:5, Ul. 4:24).

Allah menjadi cemburu ketika umatNya mulai percaya kepada allah-allah lain, yang secara tidak langsung dengan mengatakan; ”Engkau adalah Allah yang mulia, maha kuasa, tetapi sebenarnya aku juga mempercayai bahwa ada allah-allah lain selain Engkau, walaupun mereka tidak sekuat Engkau.” Inilah alasannya mengapa kami tidak mempercayai keberadaan dari iblis atau setan sama seperti keberadaan Allah yang benar.Seperti yang tercatat di dalam Perjanjian Lama, Israel melakukan kesalahan ini. Sebagian besar dalam catatan itu menceritakan tentang sikap bangsa Israel yang tidak menyenangkan Allah, dengan mempercayai allah-allah lain seperti Dia. Berdasarkan Alkitab, kita dapat mengetahui bahwa ”roh-roh jahat” yang dipercayai oleh banyak orang pada saat ini, hanyalah allah-allah palsu seperti yang dipercayai oleh bangsa Israel.

Roh-roh jahat adalah berhala

Di dalam I Korintus, Paulus menjelaskan mengapa orang-orang Kristen tidak boleh terlibat dalam penyembahan berhala atau mempercayai hal-hal yang serupa. Pada waktu masa penulisan Alkitab, banyak orang mempercayai bahwa roh-roh jahat adalah allah-allah yang dapat mereka sembah agar menghentikan masalah-masalah di dalam kehidupan mereka. Karena itu mereka membuat patung-patung roh jahat sebagai berhala, dan menyembahnya. Hal ini menjelaskan mengapa Paulus menggunakan kata ”roh-roh jahat” dan ”berhala” secara bergantian di dalam suratnya;

”persembahan mereka adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan roh-roh jahat...Tetapi kalau seorang berkata kepadamu; ”itu persembahan berhala!” janganlah engkau memakannya...” (I Kor. 10:20,28). Jadi, berhala sama dengan roh-roh jahat. Catat, Paulus mengatakan kepada mereka, bahwa mereka mempersembahkan korban ”kepada roh-roh jahat (berhala), bukan kepada Allah.” Karena roh-roh jahat bukan Allah dan hanya ada satu Allah, maka roh-roh jahat sama sekali tidak memiliki kuasa apapun, dan mereka bukan allah-allah. Pengertian yang jelas terdapat di I Korintus 8:4;

”Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: ”tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa.” Berhala atau roh-roh jahat, sama sekali tidak ada. Hanya ada satu Allah yang benar, atau yang berkuasa di dunia. Paulus meneruskan penjelasannya di (ayat 5,6);

”Sebab sungguhpun ada apa yang disebut ”allah”, baik di surga, maupun di bumi-dan memang benar ada banyak ”allah” dan banyak ”tuhan” yang demikian-namun bagi kita (orang-orang percaya yang benar) hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripadanya berasal segala sesuatu (yang baik dan yang jahat, seperti yang kita lihat pada referensi-referensi sebelumnya).”

Keterangan-keterangan lain mengenai orang-orang di Perjanjian Baru yang mempercayai roh-roh jahat sebagai berhala atau ”allah-allah”, dapat ditemukan di Kisah para Rasul 17:16-18; yang menceritakan tentang penginjilan Paulus di Atena, daerah yang ”penuh dengan patung-patung berhala”, karena begitu banyak berhala-berhala yang disembah. Setelah mendengar penginjilan Paulus, orang-orang itu berkata; ”Rupa-rupanya ia adalah pemberita ajaran dewa-dewa (roh-roh jahat) asing (baru).” Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan tentang kebangkitannya.” karena itu mereka mengira bahwa ”Yesus” dan ”kebangkitannya” adalah roh-roh jahat atau berhala yang baru, sebagaimana yang telah dijelaskan kepada mereka. Jika anda membaca bagian akhir dari pasal ini, dijelaskan bahwa Paulus mengajarkan kebenaran kepada mereka, lalu di ayat 22 ia mengatakan; ”kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.” Kemudian ia menjelaskan bahwa Allah tidak terdapat di dalam berhala-berhala atau roh-roh jahat. Dengan mengingat bahwa Allah adalah satu-satunya sumber dari segala kuasa, maka jika Ia tidak terdapat di dalam roh-roh jahat, berarti roh-roh jahat itu tidak mempunyai kuasa, karena tidak ada sumber kuasa lain di dunia ini. Kesimpulannya, mereka itu tidak ada.

”Roh-roh jahat” di dalam Perjanjian Lama adalah berhala-berhala

Kembali ke Perjanjian Lama, terdapat keterangan-keterangan yang lebih banyak, bahwa ”roh-roh jahat” sama dengan berhala. Ulangan 28:22-28, 59-61, menjelaskan tentang penyakit mental sebagai salah satu dari hukuman-hukuman bagi para penyembah berhala/roh-roh jahat. Hal ini menjelaskan hubungan antara roh-roh jahat dengan penyakit mental di dalam Perjanjian Baru. Perlu dicatat, roh-roh jahat ada hubungannya dengan penyakit, bukan dosa. Tidak catatan bahwa Yesus mengusir roh-roh jahat keluar dari seseorang yang iri hati, pembunuh, dll. Dan juga harus menjadi catatan bahwa Alkitab mencatat orang-orang yang memiliki penyakit/roh-roh jahat, bukan mencatat roh-roh jahat yang menyebabkan penyakit. Di dalam Alkitab Perjanjian Lama berbahasa Yunani (Septuaginta), menggunakan kata ”daimonion” untuk ”berhala” pada Ulangan 32:17 dan Mazmur 106:37; kata ini diterjemahkan menjadi ”roh-roh jahat” di dalam Perjanjian Baru. Mazmur 106:36-39 menceritakan tentang dosa-dosa bangsa Israel dan menyamakan berhala-berhla Kanaan dengan roh-roh jahat;

”Mereka (Israel) beribadah kepada berhala-berhala mereka, yang menjadi perangkap bagi mereka. Mereka mengorbankan anak-anak lelaki mereka, dan anak-anak perempuan mereka kepada roh-roh jahat, dan menumpahkan darah orang yang tak bersalah, darah anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan mereka, yang mereka korbankan kepada berhala-berhala Kanaan...Mereka menajiskan diri dengan apa yang mereka lakukan, dan berzinah dalam perbuatan-perbuatan mereka.”

Jelas sekali, bahwa roh-roh jahat hanyalah istilah lain dari berhala-berhala. Penyembahan kepada roh-roh jahat yang mereka lakukan, dikatakan Allah sebagai penyembahan ”kepada apa yang mereka lakukan...dalam perbuatan-perbuatan mereka” karena mereka percaya kepada roh-roh jahat yang adalah hasil dari imajinasi manusia; berhala-berhala yang mereka ciptakan adalah hasil dari ”perbuatan-perbuatan mereka.” Jadi, mereka yang mempercayai roh-roh jahat pada saat ini berarti mempercayai hal-hal yang merupakan hasil imajinasi manusia, buatan manusia, daripada mempercayai apa yang telah diajarkan Allah kepada kita.

Ulangan 32:15-24 menceritakan tentang bagaimana kemarahan Allah ketika mendapati umatNya percaya kepada roh-roh jahat; bangsa Israel ”memandang rendah gunung batu keselamatannya. Mereka membangkitkan cemburuNya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hatiNya dengan dewa kekejian. Mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah, kepada Allah yang tidak mereka kenal...yang kepadanya nenek moyangmu tidak gentar...Ia (Allah) berfirman: Aku hendak menyembunyikan wajahKu terhadap mereka...sebab mereka itu suatu angkatan yang bengkok, anak-anak yang tidak mempunyai kesetiaan. Mereka membangkitkan cemburuKu dengan yang bukan Allah, mereka menimbulkan sakit hatiku dengan berhala mereka...Aku akan menimbun malapetaka ke atas mereka.”

Jadi, Allah menjelaskan bahwa roh-roh jahat sama dengan berhala-berhala dan dewa kekejian; hal yang sia-sia untuk dipercayai karena keberadaannya yang sama sekali tidak ada. Percaya kepada roh-roh jahat menunjukkan kurangnya iman kepada Allah. Memang tidak mudah untuk mempercayai bahwa Allah yang menyebabkan hal-hal yang baik dan hal-hal yang jahat terjadi di dalam hidup kita. Lebih mudah untuk berpikir bahwa hal-hal yang jahat tidak berasal dari Allah. Karena, jika kita mengatakan segala sesuatu berasal dari Allah, maka kita juga harus mempercayai bahwa Allah yang akan mengambilnya dari kita, atau hal-hal tersebut akan bermanfaat bagi kita dikemudian hari.

Roh-roh jahat Perjanjian Baru

Mungkin anda bertanya; ”Bagaimana dengan ayat-ayat di dalam Perjanjian Baru yang dengan jelas berbicara tentang roh-roh jahat?”

Satu hal yang harus kita pahami: ayat-ayat di dalam Alkitab tidak saling bertentangan, karena itu adalah firman dari Allah yang Maha kuasa. Jika Alkitab memberitahu kita bahwa Allah yang menyebabkan masalah-masalah di dalam kehidupan kita, dan Ia adalah sumber dari segala kuasa, maka pada bagian lain, Alkitab tidak akan mengatakan bahwa roh-roh jahat, allah-allah yang menentang Allah, sebagai penyebab dari masalah-masalah kita. Sepertinya ada hal yang penting, karena kata ”roh-roh jahat” hanya muncul empat kali di dalam Perjanjian Lama (Alkitab dalam bahasa Inggris) dan selalu menjelaskan tentang penyembahan berhala. Tetapi di dalam catatan Injil, kata itu muncul banyak kali. Kami menyimpulkan hal ini karena pada waktu Injil dicatat, bahasa yang digunakan adalah bahasa pada waktu itu. Ketika menjelaskan berbagai penyakit yang tidak mereka pahami, mereka menganggap roh-roh jahat sebagai penyebabnya. Jika roh-roh jahat benar-benar ada, dan bertanggung jawab atas semua penyakit dan masalah kita, maka pasti ada penjelasan lebih lanjut tentang hal itu di dalam Perjanjian Lama. Tetapi, tidak ada penjelasan mengenai hal itu dalam konteks yang kita bahas.

Roh-roh jahat di dalam Perjanjian Baru

Dengan mengatakan bahwa roh-roh jahat dikeluarkan dari seseorang, sama dengan mengatakan bahwa ia disembuhkan dari penyakit mental atau kegilaan. Yang tidak dipahami pada masa itu. Orang-orang yang hidup pada abad pertama lebih cenderung menyalahkan segala sesuatu yang tidak mereka pahami, kepada sesuatu yang abstrak, yang disebut ”roh-roh jahat.” Pada saat itu penyakit mental sulit untuk dipahami, karena tingkat ilmu kedokteran mereka yang masih rendah. Oleh karenanya, orang-orang yang hidup pada masa itu mengatakan, bahwa orang-orang yang mengidap penyakit mental, ”dikuasai roh-roh jahat.” Pada masa Perjanjian Lama, kata roh jahat atau roh najis, menunjuk kepada keadaan mental seseorang (Hak. 9:23; 1 Sam. 16:14; 18:10). Dalam masa Perjanjian Baru, bahasa ”dikuasai iblis/roh-roh jahat” menunjuk kepada penyakit mental yang diderita seseorang. Hubungan antara roh-roh jahat dan penyakit ditunjukkan dalam ayat berikut ini; ”Menjelang malam dibawalah kepada Yesus banyak orang yang kemasukkan setan dan dengan sepatah kata Yesus mengusir roh-roh itu...Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya; ”Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita” (Mat. 8:16,17). Jadi, kelemahan dan penyakit kita sama dengan dirasuki oleh ”roh-roh jahat” dan ”roh-roh setan.”

Banyak orang mengira bahwa Yesus sedang marah, dan mengatakan bahwa ia dirasuki setan/roh-roh jahat, ”Ia kerasukan setan dan gila” (Yoh. 10:20; 7:19,20; 8:52). Pastilah mereka mempercayai bahwa roh-roh jahat yang menyebabkan kegilaan.

Menyembuhkan orang sakit

Ketika mereka sudah disembuhkan, orang-orang yang ”dirasuki oleh roh-roh jahat”, dikatakan telah kembali ke keadaan yang ”waras” – Mrk. 5:15; Luk. 8:35. Yang secara tidak langsung menyatakan bahwa ”dirasuki oleh roh-roh jahat” adalah istilah lain untuk mengatakan keadaan mental seseorang yang terganggu, yaitu tidak waras.

Orang-orang yang ”dirasuki oleh roh-roh jahat” dikatakan telah ”disembuhkan” atau ”diobati” – Mat. 4:24; 12:22; 17:18 – Yang secara tidak langsung menyatakan bahwa dirasuki oleh roh-roh jahat adalah istilah lain untuk menjelaskan suatu penyakit.

Dalam Lukas 10:9, Yesus berkata kepada 70 murid-muridnya untuk pergi dan ”menyembuhkan orang-orang sakit” sebagai tugas yang harus mereka lakukan. Ketika mereka kembali, ayat 17; ”Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi namamu”- sekali lagi, roh-roh jahat dan penyakit dikaitkan. Kadang-kadang para murid mengobati orang-orang sakit dalam nama Yesus, dari kisah ini kita mendapatkan contoh dari hal-hal yang kita bahas. (lihat juga Kis. 3:6; 9:34).

Bahasa pada waktu itu

Jadi, seperti yang telah dijelaskan, Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa yang dipahami pada waktu itu, untuk menjelaskan seseorang yang dirasuki oleh roh-roh jahat; yang sebenarnya adalah penyakit mental. Karena tidak ada yang dapat memahaminya pada saat itu. Kebudayaan pada zaman pemerintahan Roma dan Yunani, memepercayai bahwa roh-roh jahat dapat merasuki seseorang, sehingga menyebabkan penyakit mental. Orang-orang ”Kristen” yang mempercayai keberadaan dari roh-roh jahat, sama dengan mengatakan bahwa kebudayaan dari para penyembah berhala pada saat itu, sangat betul sekali. Alkitab ditulis dalam bahasa yang dapat dipahami pada masa itu, tetapi tidak mengartikan bahwa Alktiab atau Yesus mempercayai keberadaan roh-roh jahat. Sama seperti ungkapan ”makan garam”, yang digunakan untuk menjelaskan seseorang yang berpengalaman, yang sama sekali tidak mengartikan bahwa, seseorang bisa menjadi berpengalaman, karena ia banyak makan garam.

Jika ungkapan ini ditulis pada selembar kertas, kemudian dibaca kembali 2000 tahun kedepan – jika Yesus tidak datang kembali – mungkin orang-orang akan mengira, bahwa dengan makan garam mereka dapat menjadi berpengalaman. Jelas sekali, mereka salah, karena kita menulisnya berdasarkan bahasa yang dimengerti pada zaman kita, seperti yang dilakukan oleh Yesus 2000 tahun yang lalu. Sama halnya dengan perayaan hari natal. Telah terbukti bahwa Yesus Kristus tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember, tetapi penulis buku ini masih menyebut hari tersebut adalah hari natal, walaupun saya tidak percaya bahwa kita diharuskan untuk merayakan hari tersebut sebagai hari kelahiran Kristus. Nama-nama hari dalam satu minggu dibuat berdasarkan kebudayaan para penyembah berhala, misalnya ”Sunday” (hari minggu) yang berarti ”hari yang dikhususkan untuk menyembah matahari”; ”Saturday” (hari sabtu) hari dimana planet saturnus harus disembah; ”Monday” (hari senin) hari untuk bulan, dst. Dengan menggunakan nama-nama hari ini, tidak berarti kita mempercayai penyembahan berhala, karena nama-nama hari tersebut dibuat berdasarkan bahasa yang kita gunakan pada saat ini. Seperti kata ”influenza” yang sering digunakan pada saat ini; kata tersebut sebenarnya berasal dari ”influenced by demons” (yang disebabkan oleh roh-roh jahat). Begitu juga dengan Daniel, yang namanya dirubah menjadi ”Beltsazar”, nama ini adalah cerminan dari dewa-dewa berhala. Alkitab mencatatnya di Daniel 9:14. Ketika Daniel dipanggil ”Beltsazar”, tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa nama itu merupakan cerminan dari pemikiran yang salah. Sama halnya dengan menyebut ”Paus” untuk mengidentifikasikan seseorang, walaupun saya tahu yang sebenarnya adalah salah dengan menyebut dia sebagai ”Paus” atau Bapa (Mat. 23:9).

Pada zaman Yehezkiel, ada mitos bahwa tanah Israel bertanggungjawab atas nasib malang yang menimpa mereka yang tinggal diatasnya. Hal ini tidak benar, walaupun Allah memberikan jawaban kepada Israel dengan menggunakan gagasan yang kemudian menjadi populer; ”Beginilah firman Tuhan Allah: Oleh karena orang berkata tentangmu: engkau memakan orang dan engkau memunahkan bangsamu, oleh karena itu engkau (tanah Israel) tidak akan makan orang lagi...demikianlah firman Tuhan Allah” (Yeh. 36:13,14). Ada suatu gagasan yang berasal dari para penyembah berhala, bahwa di dalam laut terdapat makhluk mengerikan yang sangat besar, yang ingin menelan bumi. Walaupun hal ini tidak terbukti benar, tetapi Alkitab sering menggunakan hal ini sebagai gambaran agar yang membacanya dapat memahami hal yang sedang dijelaskan; lihat Ayub 7:12; Amos 9:13; Yeremia 5:22; Mazmur 89:9; Habakuk 3:10; Matius 14:24; Markus 4:30. Mitos orang-orang Asyur menyebutkan bahwa makhluk laut yang suka memberontak ini bernama ”Rahab” dan nama ini juga diberikan kepada makhluk laut yang mengerikan dari bangsa Mesir – Yesaya 51:9.

Dengan mengingat bahwa Alkitab diilhamkan Allah maka, mustahil Alkitab terpengaruh dengan hal-hal yang berkaitan dengan penyembahan berhala pada waktu penulisannya. Pastilah Allah dengan sengaja menyinggung kepercayaan yang diyakini pada masa itu, dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa Ia adalah sumber dari segala kuasa; Ia yang mengendalikan ”makhluk mengerikan” di laut, sehingga Ia berkuasa atasnya. Oleh karena itu, Allah kemudian mengoreksi kepercayaan yang salah dari orang-orang itu, yang mengakui bahwa ada kuasa-kuasa di dalam dunia ini yang tidak berada di bawah pengaturan Allah, sehingga disimpulkan bahwa kuasa-kuasa itu berasal dari iblis. Walaupun begitu, dalam hal ini, Alkitab tidak menentang pemahaman mereka, dan mengutuknya sebagai suatu kebodohan untuk mempercayai keberadaan makhluk raksasa yang bersembunyi di dalam laut, atau laut disebut sebagai makhluk yang mengerikan.

Contoh yang lain terdapat didalam penjelasan tentang halilintar dan awan badai, yang disebut sebagai ”ular yang tangkas” (Ayub 26:13; Yes. 17:1). Hal ini dengan jelas menyinggung kebudayaan para penyembah berhala yang mempercayai bahwa halilintar dan gumpalan awan yang menakutkan adalah ular raksasa. Ayat-ayat ini tidak menyebutkan bahwa gagasan tersebut adalah suatu hal yang bodoh, atau dijelaskan secara ilmiah. Sebaliknya, ayat-ayat tersebut mengatakan bahwa Allah yang mengendalikan semua itu. Sama dengan sikap Kristus sewaktu menanggapi kepercayaan yang secara umum diyakini pada masa itu, yakni tentang roh-roh jahat. Mujizat-mujizat yang ia lakukan dengan jelas menunjukkan bahwa kuasa mutlak dan sempurna, tidak dibatasi oleh tahayul-tahayul tentang ”roh-roh jahat.” Bagi mereka yang percaya, bahwa catatan-catatan dalam Perjanjian Baru tentang ”roh-roh jahat” membuktikan bahwa hal-hal tersebut memang betul-betul ada; maka, mereka juga harus mempercayai bahwa laut adalah makhluk yang mengerikan, dan halilintar adalah ular raksasa. Sebagai dasar, kita harus memahami tentang penggunaan bahasa yang dimengerti pada masa penulisan Alkitab, dan menghormatinya tanpa harus mempercayai kepercayaan-kepercayaan yang mendasarinya. Seperti yang telah kami jelaskan tentang contoh-contoh penggunaan bahasa pada saat ini, begitu juga dengan yang dilakukan Alkitab, yaitu; Allah maha kuasa; Ia bertanggungjawab atas masalah-masalah kita; dosa berasal dari kita sendiri. Semua hal-hal ini dapat kita pahami dengan menghargai kebesaran dari kuasa Allah untuk menyelamatkan kita. Mereka yang disebut ”pengkritik tajam” tidak henti-hentinya berusaha menemukan hubungan antara bahasa yang digunakan Alkitab dengan kepercayaan dan konsep dari kebudayaan setempat, dimana Alkitab dicatat. Hal ini tidak dapat dimengerti, karena penggunaan bahasa di dalam Alkitab yang menyinggung kepercayaan-kepercayaan setempat bertujuan untuk mengarahkan kepada Yahweh, satu-satunya Allah yang benar. Tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang yang berpikiran picik, yang mengatakan bahwa firman-firman terilham yang didengar langsung dari mulut nabi-nabi, firman itulah yang benar.

Dengan didasari atas pemahaman yang telah dijelaskan, akan mengejutkan jika kita menemukan banyak contoh di dalam Perjanjian Baru tentang penggunaan bahasa pada waktu itu yang sama sekali tidak dikoreksi, berikut ini ada beberapa contoh;


- Orang-orang Farisi menuduh Yesus melakukan mujizat-mujizat dengan kuasa dari allah palsu yang disebut Beelzebul. Yesus mengatakan, ”jadi, jika aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, dengan kuasa siapakah pengikut-pengikutmu mengusirnya?” (Mat. 12:27). II Raja-raja 1:2 dengan mengatakan bahwa Beelzebul adalah allah palsu dari bangsa Filistin. Tetapi, Yesus tidak mengatakan, ”lihat, II Raj. 1:2 mengatakan Beelzebul adalah allah palsu, jadi tuduhan kalian tidak benar.” Tetapi dia malah menjawab seakan-akan Beelzebul betul-betul ada. Karena dia ingin pesan yang ingin ia sampaikan dapat dipahami oleh orang-orang yang ia ajar. Yesus menjawab dengan cara yang sama ketika ia mengusir roh-roh jahat, tetapi ia tidak mengatakan, ”sebenarnya mereka tidak ada.” Dia memberitakan Injil dengan menggunakan bahasa yang dipahami pada waktu itu.

- Kisah para Rasul 16:16-18 adalah kata-kata dari Lukas yang berada di bawah ilham; ”kami bertemu dengan seorang hamba perempuan yang mempunyai roh tenung.” Sebagaimana yang dijelaskan pada catatan kaki dalam Alkitab interlinear (Diaglott version), Phyton (roh tenung) adalah nama allah palsu yang dipercayai pada masa abad pertama, kemungkinan sama dengan dewa Apollo. Jadi, Phyton sebenarnya tidak ada. Dan Lukas tidak mengatakan bahwa perempuan itu ”dirasuki oleh Phyton (roh tenung), yang adalah allah palsu, yang keberadaannya sama sekali tidak ada.” Dengan cara yang sama, Injil mencatat tentang peristiwa Yesus ”mengusir roh-roh jahat.” yang sebenarnya tidak betul-betul ada. Kata-kata tersebut hanyalah bahasa yang digunakan pada masa itu untuk menjelaskan penyakit-penyakit.

- Lukas 5:32 menceritakan tentang Yesus yang sedang berbicara dengan orang-orang Yahudi yang jahat; ”Aku datang bukan untuk memanggil orang benar...” sebenarnya, ia harus mengatakan; ”Aku datang bukan untuk memanggil orang-orang yang merasa dirinya benar.” Tetapi, Yesus mengatakannya menurut jalan pikiran mereka, yang sebenarnya tidak benar demikian. Lukas 19:20-23 menjelaskan tentang perumpamaan uang mina, dimana Yesus menggunakan kata-kata yang tidak benar, ketika menjelaskan jawaban yang diberikan kepada hamba yang ketiga, tetapi ia tidak mengoreksi kata-kata tersebut.

- Alkitab sering kali berbicara tentang matahari ”terbit” dan ”tenggelam”; ini adalah cara manusia untuk menjelaskan peristiwa itu. Tetapi secara ilmiah hal ini tidak benar. Seperti penjelasan tentang penyakit-penyakit, yang dijelaskan dengan menggunakan kata-kata yang tidak benar, yaitu ”roh-roh jahat.” Kisah para Rasul 5:3 menceritakan tentang bagaimana Ananias mendustai roh kudus. Sebenarnya hal ini tidak mungkin terjadi, karena roh kudus tidak dapat dibohongi.

- Banyak contoh-contoh dalam Alkitab tentang penggunaan bahasa yang dipahami pada masa penulisan Alkitab, tetapi tidak lazim bagi kita. Contoh; ”kulit ganti kulit” (Ayub 2:4), yang menyinggung kebiasaan yang dilakukan pada zaman purbakala, yaitu menjual kulit-kulit dengan harga yang sebanding. Pria sundal disebut ”semburit bakti” di Ulangan 23:18. Contoh-contoh yang lain adalah tentang roh-roh jahat.

- Pada zaman Kristus, orang-orang Yahudi mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang benar, Karena mereka adalah keturunan Abraham. Oleh karena itu Yesus menyebut mereka sebagai ”orang benar” (Mat. 9:12,13), dan berkata, ”Aku tahu bahwa kamu adalah keturunan Abraham” (Yoh. 8:37). Tetapi dia tidak menganggap mereka sebagai orang yang benar, seperti yang ia jelaskan dengan jelas, melalui jawaban-jawabannya di Yohanes 8:39-44, ia mengatakan bahwa mereka bukan keturunan Abraham. Jadi, sebagai pembukaan, Yesus mengikuti apa yang dipercayai oleh banyak orang, tanpa dengan segera membantah apa yang mereka yakini, kemudian setelah itu barulah ia menunjukkan hal yang benar. Kami telah menjelaskan, bahwa pendekatan seperti inilah yang digunakan Allah sewaktu menyinggung kepercayaan para penyembah berhala, yang pada umumnya diyakini oleh banyak orang pada masa Perjanjian Lama. Sama dengan cara Kristus dalam menyikapi roh-roh jahat di dalam Perjanjian Baru; Allah menghendaki ia melakukan banyak mujizat agar mereka mengetahui dengan jelas bahwa Allah yang menyebabkan penyakit, bukan kuasa lain, dengan mempertimbangkan bahwa mereka disembuhkan oleh kuasa Allah yang maha besar.

- Paulus mengutip puisi-puisi Yunani yang terkenal dalam sejumlah ayat yang membingungkan, dengan tujuan untuk mengutuk mereka yang mempercayai isi dari puisi-puisi itu (Tit. 1:12; Kis. 17:28). Yang ingin kami kemukakan adalah cara yang digunakan Paulus dalam memberikan jawaban, ketika ia menemukan altar yang dibuat untuk memberikan persembahan kepada ”Allah yang tidak dikenal”, yaitu dewa-dewa berhala yang mungkin benar-benar ada, yang belakangan ditinggalkan oleh orang-orang Atena. Daripada membantah mereka atas kepercayaan yang bodoh ini, Paulus malah mengikuti jalan pikiran mereka, agar mereka dapat mengetahui Allah yang benar, yang tidak mereka kenal (Kis. 17:22,23).

- Efesus 2:2 berbicara tentang ”penguasa kerajaan angkasa.” Hal ini dengan jelas menyinggung konsep mitologi zoroaster, salah satu hal yang dipercayai oleh pembaca surat-surat Paulus. Paulus mengatakan bahwa dulu mereka pernah mentaati ”penguasa kerajaan angkasa.” Masih dalam ayat yang sama, Paulus menjelaskannya sebagai ”roh yang sekarang sedang bekerja diantara orang-orang durhaka.” Karena sebelumnya mereka pernah mempercayai konsep penyembahan berhala tentang roh pangeran angkasa. Kemudian Paulus menjelaskan, bahwa sebenarnya hal tersebut adalah hal-hal yang jahat di dalam hati mereka sendiri. Karena inilah, maka gagasan dari penyembahan berhala disinggung tanpa dibantah sama sekali, ketika Paulus menjelaskan hal-hal yang benar, yang berkaitan dengan dosa.

- Kisah para Rasul 28:3-6 menceritakan tentang seekor ular beracun yang menggigit Paulus di tangannya. Orang-orang di sekeliling Paulus menuduhnya sebagai pembunuh yang ”tidak dibiarkan hidup oleh dewi keadilan.” Mereka tidak memahami apa yang terjadi sebenarnya, tetapi Paulus tidak mengoreksi mereka, ia malah membuat suatu keajaiban, dengan melemparkan ular itu ke dalam api tanpa terluka sedikitpun.

- Mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus menyingkapkan pandangan yang salah dari orang-orang yang melihatnya, misalnya tentang roh-roh jahat. Ia tidak mengoreksi mereka dengan banyak kata. Begitu juga dengan Lukas 5:21, sewaktu orang Yahudi mengatakan dua pernyataan yang salah; Yesus disebut penghujat, dan hanya Allah sendiri yang dapat mengampuni dosa. Tetapi Yesus tidak terang-terangan mengoreksi mereka, ia malah membuat mujizat untuk membuktikan bahwa pernyataan mereka itu salah.

- Dengan jelas kita dapat melihat bahwa Yesus adalah orang yang banyak bertindak daripada banyak berbicara. Jarang sekali ia mencela langsung gagasan-gagasan yang salah, ia juga tidak mencela hukum Musa, yang dianggap oleh banyak orang dapat memberikan keselamatan. Tetapi ia menunjukkannya melalui tindakannya, misalnya dengan menyembuhkan orang sakit pada hari sabat, yang sebenarnya dilarang. Ketika ia dituduh sebagai orang Samaria, ia tidak membantahnya (Yoh. 8:48,49 bandingkan 4:7-9) demi statusnya sebagai orang Yahudi, keturunan Abraham, yang memegang peranan penting dari rencana keselamatan Allah (Yoh. 4:22).

Bahkan ketika orang-orang Yahudi menyatakan kesimpulan yang salah dengan mengatakan bahwa Yesus ”menyamakan dirinya dengan Allah” (Yoh. 5:18), Yesus tidak dengan tegas menyangkalnya; sebaliknya, ia malah mendebatkan tentang mujizat-mujizatnya, yang menunjukkan bahwa ia datang atas nama Allah, yang membuktikan bahwa ia TIDAK sama dengan Allah. Sebagaimana halnya mujizat-mujizat Yesus membuktikan kepercayaan yang salah tentang roh-roh jahat. Begitu juga dengan mujizat Kristus sewaktu ia menyembuhkan orang lumpuh di kolam Betesda. Ia bertujuan untuk menunjukkan kebodohan dari mitos orang-orang Yahudi, yang mempercayai bahwa pada waktu Paskah, seorang malaikat menyentuh air di kolam itu, sehingga dapat menyembuhkan orang-orang sakit. Mitos ini dicatat tanpa disinggung sedikitpun mengenai kebenarannya; dan mujizat yang dilakukan Yesus bertujuan untuk menunjukkan kesalahan dari mitos tersebut (Yoh. 5:4).

- II Petrus 2:4 menceritakan tentang orang-orang yang pergi menuju ke Tartarus (diterjemahkan menjadi ”neraka”). Tartarus adalah mitos tentang suatu tempat bagi orang-orang jahat. Tetapi Paulus tidak mengoreksinya, ia malah menggunakannya sebagai simbol dari pembinasaan dan penghukuman atas dosa. Begitu juga sewaktu Kristus menggunakan kata Gehenna (lihat pelajaran 4.9)

Apakah Roh-roh jahat adalah penyebab dari berbagai penyakit?

Setiap orang yang percaya akan keberadaan dari roh-roh jahat, harus menanyai dirinya sendiri; ”Ketika saya sakit, apakah disebabkan oleh roh-roh jahat?” Jika anda mengira bahwa referensi tentang roh-roh jahat didalam Perjanjian Baru menunjuk kepada allah-allah palsu yang berkeliling dunia untuk melakukan kejahatan; jika anda mengatakan bahwa hal ini benar, bagaimana anda dapat menjelaskan tentang fakta dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh roh-roh jahat, dapat disembuhkan atau dikendalikan dengan obat-obatan? Contoh klasik adalah penyakit malaria, sebagian besar orang di Afrika hingga saat ini mempercayai bahwa malaria disebabkan oleh roh-roh jahat. Seperti yang kita ketahui bersama, malaria dapat disembuhkan dengan air daun kina, atau obat-obatan yang lain. Lalu, apakah anda akan mengatakan, bahwa ketika roh-roh jahat melihat tablet-tablet kuning yang masuk ke dalam tenggorokan anda, mereka menjadi takut dan pergi? Beberapa penyakit yang disembuhkan Yesus, yang disebabkan karena dirasuki roh-roh jahat, telah diidentifikasi sebagai penyakit Tetanus atau Epilepsi, dan keduanya dapat disembuhkan dengan menggunakan obat-obatan.

Seorang sahabat yang berasal dari sebuah desa yang terletak di luar kota Kampala, Uganda. Ia mengatakan bahwa orang-orang diharuskan untuk mempercayai bahwa malaria disebabkan oleh roh-roh jahat. Tetapi ketika mereka melihat bagaimana penyakit itu dapat dikendalikan dengan mudahnya melalui obat-obatan, mereka berhenti menyalahkan roh-roh jahat. Seorang dokter dari kota terdekat, datang dan menawarkan kepada mereka obat-obat anti malaria untuk penyembuhan, tetapi mereka menolaknya, dan mengatakan bahwa mereka memerlukan sesuatu untuk melawan roh-roh jahat, bukan malaria. Dokter itu kemudian datang kembali dan mengatakan, ”saya mempunyai obat yang dapat mengusir roh-roh jahat”; lalu orang yang sakit segera mengambil obat itu, dan keadaannya menjadi lebih baik; cara yang sama juga digunakan ketika memberi tablet yang kedua. Dokter itu tidak mempercayai roh-roh jahat, tetapi ia hanya menggunakan bahasa yang dipahami oleh orang-orang itu, sama seperti yang dilakukan oleh ”Dokter yang Agung” yaitu Yesus, 2000 tahun yang lalu.

Rabu, 18 Januari 2012

Iblis dan setan dalam pengertian Alkitab

Adakalanya kata-kata di dalam Alkitab tidak diterjemahkan dan tetap dibiarkan dalam bahasa aslinya (contoh, “Mammon” dalam bahasa Aramaik di Mat. 6:24). Kata “setan” berasal dari kata Ibrani yang tidak dapat diterjemahkan, yang mempunyai arti “musuh.” Sedangkan kata “iblis” diterjemahkan dari bahasa Yunani “diabolos”, yang mempunyai arti pendusta, musuh, atau pemfitnah. Jika kita percaya bahwa setan dan iblis adalah sesuatu yang berada di luar diri kita, yang bertanggungjawab atas dosa, maka dimanapun kita menemukan kata-kata tersebut di dalam Alkitab, kita akan mengartikan kata tersebut sebagai suatu pribadi yang jahat. Penggunaan kata-kata tersebut di dalam Alkitab menunjukkan bahwa kata-kata tersebut digunakan untuk menjelaskan sifat yang terdapat di dalam diri manusia. Karena itu kata iblis dan setan yang terdapat di dalam Alkitab tidak menunjuk kepada suatu pribadi yang jahat, yang berada di luar diri kita.

Kata “setan” di dalam Alkitab

I Raja-raja 11:14 mencatat, “Tuhan membangkitkan seorang ”lawan” (kata Ibrani yang juga diterjemahkan sebagai “setan”) Salomo, yakni Hadad, orang Edom.” “Allah membangkitkan pula seorang “lawan” (dari kata yang sama)…yakni Rezon…Dialah yang menjadi “lawan” (setan) Israel” (I Raj. 11:23,25). Ayat-ayat ini tidak mengartikan bahwa Allah membangkitkan suatu makhluk supranatural atau seorang malaikat, untuk menjadi setan/musuh bagi Salomo; ia hanya membangkitkan sifat jahat yang terdapat di dalam diri manusia. Matius 16:22,23 memberikan contoh yang lain sehubungan dengan hal ini; ketika Petrus berusaha menghalangi Yesus pergi ke Yerusalem untuk mati di kayu salib. Yesus berbalik dan mengatakan kepada Petrus, “Enyahlah Iblis…sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Karena itu Petrus disebut sebagai setan. Catatan tersebut dengan jelas mengatakan bahwa Yesus tidak sedang berbicara kepada seorang malaikat atau suatu makhluk yang mengerikan, ketika ia mengucapkan kata-kata itu, tetapi ia sedang berbicara dengan Petrus.

Karena kata “setan” mempunyai arti; musuh, orang baik, bahkan Allah juga dapat disebut “setan.” Pada intinya, kata tersebut sama sekali tidak mengartikan sesuatu yang penuh dengan dosa. Konotasi dari penuh dengan dosa, yaitu kata ”setan”, menjelaskan tentang keadaan kita yang sebenarnya yang penuh dengan dosa, yang merupakan musuh terbesar kita, yaitu setan; dan penggunannya di dalam kalimat menunjuk kepada sesuatu yang berhubungan dengan dosa. Allah juga dapat disebut ''setan'' bagi kita, dalam pengertian bahwa Ia yang menyebabkan masalah-masalah di dalam kehidupan kita, atau memberikan jalan yang salah kepada kita sewaktu sedang mengahadapi masalah. Fakta bahwa Allah dapat disebut sebagai ''setan'' tidak mengartikan bahwa Ia penuh dengan dosa.

Di dalam buku Samuel dan Tawarikh, terdapat catatan yang berkaitan tentang suatu peristiwa yang sama. Seperti empat buku Injil yang mencatat peristiwa-peristiwa yang sama, dalam bahasa penulisan yang berbeda. II Samuel 24:1 mencatat, “Bangkitlah pula murka Tuhan terhadap orang Israel; Ia menghasut Daud melawan mereka” agar ia menghitung bangsa Israel. Catatan mengenai peristiwa yang sama juga terdapat di I Tawarikh 21:1; ”Iblis bangkit melawan Israel dan membujuk Daud untuk menghitung orang Israel.” Pada ayat yang pertama dijelaskan bahwa Allah yang menghasut Daud, tetapi pada ayat kedua disebutkan bahwa setanlah yang melakukan hal itu. Kesimpulan dari hal ini adalah, Allah bertindak sebagai “setan” atau musuh bagi Daud. Ia juga melakukan hal yang sama kepada Ayub, dengan membawa sejumlah penderitaan ke dalam kehidupan Ayub. Karena itu Ayub berkata kepada Allah; “Engkau memusuhi aku dengan kekuatan tanganMu” (Ayub 30:21); sama dengan mengatakan, “Engkau bertindak sebagai setan dengan memusuhi aku.”


Kata “iblis” di dalam Alkitab

Begitu juga dengan kata “iblis”, Yesus mengatakan, “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang diantaramu adalah iblis. Yang dimaksudkannya ialah Yudas…” (Yoh. 6:70,71). Yaitu manusia biasa yang berkematian. Ia tidak berbicara tentang suatu pribadi yang memiliki tanduk, yang disebut “makhluk roh.” Kata “iblis” pada ayat ini menunjuk kepada sifat manusia yang jahat. I Timotius 3:11 memberikan contoh yang lain sehubungan dengan hal ini; istri dari penatua gereja haruslah bukan seorang “pemfitnah”, yang berasal dari kata Yunani “diabolos”, yang juga diterjemahkan menjadi “iblis.” Karena itu Paulus memperingatkan Titus agar perempuan-perempuan tua yang melayani bukanlah seorang “pemfitnah” atau “iblis” (Tit. 2:3). Dan ia juga mengatakan hal yang sama kepada Timotius (II Tim. 3:1,3); ”pada hari-hari terakhir...manusia akan...menjadi pemfitnah (iblis).” Hal ini tidak mengartikan bahwa manusia akan berubah bentuk menjadi makhluk super, tetapi mengartikan, bahwa mereka akan bertambah jahat. Dari semua penjelasan ini, sangat jelas sekali bahwa kata “iblis” dan “setan” tidak menunjuk kepada keberadaan dari Malaikat yang berdosa di luar diri kita.

Dosa, Setan, dan Iblis

Kata “setan” dan “iblis” digunakan dalam bentuk kiasan untuk menjelaskan kecenderungan secara alami melakukan dosa yang terdapat di dalam diri manusia. Inilah musuh atau “setan” yang sebenarnya. Selain disebut sebagai “iblis” atau musuh kita, mereka juga merupakan lambang dari pemfitnah kebenaran. Inilah sifat manusia yang sebenarnya, sangat jahat. Hubungan antara iblis dengan hasrat kita yang jahat adalah, sama-sama merupakan dosa di dalam diri kita. Yang sangat jelas terlihat di dalam beberapa ayat; ”Karena anak-anak itu (kita) adalah anak-anak dari darah dan daging, maka ia (Yesus) juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematiannya ia memusnahkan dia, yaitu iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibr. 2:14). Kata iblis pada ayat ini dijelaskan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kematian, tapi ”upah dosa ialah maut” (Rm. 6:23). Oleh karena itu, dosa dan iblis pastilah berkaitan. Hal yang serupa juga terdapat di Yakobus 1:14, yang mengatakan bahwa hasrat kita yang jahatlah yang menggoda kita, dan menuntun kita untuk melakukan dosa, yang upahnya adalah kematian. Tetapi di Ibrani 2:14 dikatakan bahwa iblis yang menyebabkan kematian. Ayat yang sama juga mengatakan bahwa Yesus menjadi sama dengan manusia untuk membinasakan iblis. Bandingkan dengan Roma 8:3 yang mengatakan bahwa Allah ”mengutus anakNya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa.” Hal ini menunjukkan bahwa iblis dan kecenderungan untuk melakukan dosa adlah sifat alami yang terdapat di dalam diri manusia, yang bekerja dengan efektif pada waktu yang bersamaan. Sangat penting untuk dipahami, bahwa Yesus juga digoda seperti kita. Tidak memahami dengan benar doktrin tentang iblis, akan membuat kita tidak dapat menghargai dengan sepantasnya atas pekerjaan-pekerjaan yang Yesus lakukan. Karena Yesus menjadi sama dengan manusia, dimana ”iblis” berada di dalamnya, maka kita mempunyai harapan untuk diselamatkan (Ibr. 2:14-18; 4:15). Dengan mengatasi hasratnya yang alami, yaitu iblis, Yesus membinasakan iblis pada kayu salib (Ibr. 2:14). Jika betul iblis adalah suatu pribadi, maka ia tidak akan ada lagi, tetapi faktanya tidak demikian. Ibrani 9:26 mengatakan bahwa manifestasi Kristus adalah untuk ”menghapuskan dosa oleh korbannya.” Ibrani 2:14 membenarkan hal ini dengan menyatakan bahwa melalui kematiannya, Kristus membinasakan iblis yang berada di dalam dirinya. Melalui kematiannya, Yesus bertujuan untuk membinasakan ”tubuh dosa” (Rm. 6:6), yaitu sifat manusia, yang dalam berbagai macam keinginan dagingnya menimbulkan dosa.

”Barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari iblis” (I Yoh. 3:8), karena dosa adalah hasil dari menuruti keinginan-keinginan kita yang jahat (Yoh. 1:14,15), yang disebut Alkitab sebagai ”iblis.” ”Untuk inilah anak Allah menyatakan dirinya, yaitu supaya ia membinasakan perbuatan-perbuatan iblis itu” (I Yoh. 3:8). Jika benar bahwa iblis adalah segala hasrat kita yang jahat, maka dengan menuruti hasrat kita yang jahat, berarti kita melakukan dosa. Hal ini dibenarkan I Yohanes 3:5; ”Ia telah menyatakan dirinya supaya ia menghapus segala dosa” dan membenarkan bahwa ”dosa-dosa” kita sama dengan ”pekerjaan-pekerjaan iblis.” Kisah para Rasul 5:3 memberikan bukti yang lain tentang hubungan antara dosa-dosa kita dengan iblis; Petrus berkata kepada Ananias: ”mengapa hatimu dikuasai iblis?” Kemudian di ayat 4 Petrus mengatakan ”Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu di dalam hatimu?” Merencanakan sesuatu yang jahat di dalam hati kita disamakan dengan iblis menguasai hati kita. Jika kita merencanakan sesuatu, misalnya rencana jahat, maka hal itu dimulai dari dalam diri kita. Jika seorang wanita berencana untuk mempunyai seorang anak, hal tersebut tidak terjadi di luar dirinya, tetapi dari dalam dirinya. Yakobus 1:14,15 menggunakan gambaran yang sama untuk menjelaskan bagaimana rancangan kita yang penuh dengan hawa nafsu yang membawa kita ke dalam dosa, dan menuntun kita pada kematian. Mazmur 109:6 mengkaitkan seseorang yang berdosa dengan ”setan”; ”Angkatlah seorang fasik atas dia, dan biarlah seorang pendakwa (setan) berdiri di sebelah kanannya”, yaitu kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri (bandingkan ayat 31).

Personifikasi

Sebagai tanggapan, mungkin anda akan mengatakan; ”Tetapi hal itu berbicara dalam pengertian jika iblis adalah suatu pribadi.” Memang betul, Ibrani 2:14 mengatakan ”yaitu iblis yang berkuasa atas maut. Jika kita membaca beberapa bagian saja dari Alkitab, kita akan mengetahui bahwa bahasa personifikasi sering kali digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti menjelaskan suatu pribadi. Seperti yang terdapat di Amsal 9:1, yang berbicara tentang wanita yang disebut ”hikmat”, yang mendirikan sebuah rumah. Dan Roma 6:23 yang menyamakan kematian dengan alat pembayaran, yaitu sebagai upah dari dosa.. Iblis yang ada di dalam diri kita ”diabolos”, seringkali menjadi gambaran dari hasrat kita yang jahat. Tetapi tidak dapat diartikan secara abstrak. Karena hasrat yang jahat yang terdapat di dalam hati kita, bukanlah suatu bagian yang terpisah dari diri kita. Oleh karena itu kata ”iblis” adalah bahasa personifikasi. Begitu juga dengan dosa, yang sering dipersonifikasikan sebagai tuan (Rm. 5:21; 6:6,17; 7:3). Dengan mengingat bahwa kata ”iblis” juga menunjuk kepada dosa, maka dapat dipahami bahwa kata ”iblis” dipersonifikasikan. Karena dengan cara yang sama Paulus mengatakan bahwa kita mempunyai dua kehidupan, jasmani dan rohani (Rm. 7:15-21); tubuh jasmani; yaitu ”iblis” melawan tubuh rohani. Jelas sekali hal ini tidak dapat diartikan secara harfiah, bahwa ada dua pribadi yang berseteru di dalam tubuh kita. Bagian yang penuh dosa dari diri kita dipersonifikasikan sebagai ”yang jahat”(Mat. 6:13) yaitu iblis. Ungkapan Yunani yang diterjemahkan sebagai ”yang jahat” di dalam I Korintus 5:13 diterjemahkan menjadi ”orang yang melakukan kejahatan”, hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang memberikan jalan kepada dosa, bagian dari dirinya ”yang jahat” atau ia sendiri, menjadi ”iblis” atau orang ”yang jahat.”

Kata ”Iblis” dan ”Setan” dalam Konteks Politik

Kata ”iblis” dan ”setan” juga digunakan untuk menggambarkan kejahatan dari dunia yang penuh dengan dosa, tempat dimana kita hidup. Sosial, politik, agama-agama palsu, dan sistem pemerintahan manusia, dapat disebut dengan satu istilah, yaitu ”iblis.” Dalam Perjanjian Baru, iblis dan setan seringkali menunjuk kepada kuasa dari sistem politik dan sosial dari orang-orang Yahudi atau Roma. Karena itu tertulis bahwa iblis dilemparkan ke dalam penjara (Why. 2:10), yang menunjuk kepada kekuasaan Roma yang telah menindas orang-orang yang percaya. Dalam konteks yang sama, tertulis bahwa gereja di Pergamus terletak di takhta iblis. Hal ini tidak mengartikan bahwa setan yang duduk di takhta itu. Pergamus adalah daerah koloni Roma yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dimana terdapat komunitas dari orang-orang yang percaya.

Dosa pribadi dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah (I Yoh. 3:4). Tetapi, kadang-kadang dosa yang ditunjukkan secara bersama-sama melalui kekuatan politik dan sosial yang menentang Allah, juga dipersonifikasikan sebagai Iblis. Dengan cara seperti inilah, seringkali kata ”iblis” dan ”setan” digunakan di dalam Alkitab.

Sebagai kesimpulan, mungkin benar jika dikatakan, bahwa pembahasan tentang hal ini lebih penting dari yang lain. Karena penting sekali untuk melandasi pemahaman kita dengan pandangan yang selaras dengan seluruh isi Alkitab, daripada membuat sesuatu doktrin yang hanya didasari atas beberapa ayat, dimana terdapat kata-kata tersebut, yang mendukung kepercayaan yang pada umumnya diakui sehubungan dengan Iblis. Satu-satunya jalan dalam menyampaikan doktrin ini dengan penguraian yang lebih dalam, tujuannya ialah agar anda dapat memiliki pemahaman berdasarkan semua ayat yang menunjuk kepada iblis dan setan. 
Kata-kata tersebut dapat digunakan sebagai kata sifat, atau sesuatu yang menunjuk kepada dosa yang terdapat di dalam diri manusia

Selasa, 10 Januari 2012

Dosa adalah perbuatan Iblis ?

Banyak agama-agama dan sekte-sekte Kristen mempercayai keberadaan dari makhluk yang mengerikan, yang disebut Iblis atau Setan. Yang menjadi penyebab dari berbagai masalah di dunia ini termasuk masalah-masalah yang kita hadapi dalam kehidupan kita dan yang bertanggungjawab atas dosa yang kita perbuat. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah sangat berkuasa, dan seperti yangh kita ketahui bahwa, para malaikat tidak berdosa. Berdasarkan hal-hal ini, maka jika kita mempercayai keberadaan makhluk yang mengerikan itu, sama dengan kita mempertanyakan kekuasaan Allah. Begitu pentingnya masalah ini, sehingga kita perlu memahami dengan benar doktrin tentang Iblis atau Setan. Ibrani 2:14 mengatakan bahwa Yesus membinasakan Iblis melalui kematiannya, karena itu, kita tidak dapat memahami pekerjaan Yesus yang sebenarnya kecuali kita memiliki pemahaman yang benar tentang Iblis.

Pada umunya di dunia ini, khususnya mereka yang disebut “orang Kristen” mempercayai gagasan bahwa kebaikan berasal dari Allah dan kejahatan berasal dari Iblis atau Setan. Ini bukanlah suatu gagasan yang baru, dan tidak hanya terdapat di dalam Kekristenan yang murtad. Sebagai contoh; orang-orang Babilon mempercayai keberadaan dua dewa, dewa terang dan kebaikan; dan dewa kegelapan dan kejahatan, mereka berdua terlibat dalam perseteruan. Kores, Raja Persia, mempercayai hal ini. Karena itu Allah berkata kepadanya, “Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah…yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan nasib malang; Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini” (Yes. 45:5-7,22). Allah menciptakan nasib mujur atau kebaikan dan juga menciptakan nasib malang atau bencana. Berdasarkan ayat ini, Allah adalah penyebab, pencipta “nasib malang.” Dalam pengertian ini, ada perbedaan antara “nasib malang” atau bencana, dengan dosa, yang adalah kesalahan manusia; yang masuk ke dalam dunia sebagai akibat dari perbuatan manusia, bukan Allah (Rm. 5:12).

Allah berkata kepada Kores dan orang-orang di Babilon, ”Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain.” Kata Ibrani “el” yang diterjemahkan menjadi “Allah” mempunyai arti “kuasa” atau “sumber kuasa.” Allah mengatakan bahwa tidak ada sumber kuasa selain dari diriNya. Inilah alasannya mengapa orang-orang percaya yang benar di dalam Allah tidak dapat menerima gagasan tentang hal-hal gaib yang berhubungan dengan Iblis atau roh-roh jahat.

Allah: Penyebab ''Malapetaka''

Alkitab penuh dengan contoh-contoh yang menjelaskan tentang Allah sebagai penyebab dari “malapetaka” atas manusia dan dunia ini. Amos 3:6 mengatakan bahwa jika ada malapetaka di dalam suatu kota, pasti Allah yang melakukannya. Sebagai contoh, jika terjadi gempa bumi di suatu kota. Banyak orang yang menyangka “Iblis” yang menyebabkannya, sehingga malapetaka itu terjadi. Setiap orang percaya yang benar harus memahami, bahwa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kejadian itu adalah Allah, karena itu Mikha 1:12 mengatakan, bahwa “malapetaka turun dari pada Tuhan sampai ke pintu gerbang Yerusalem.” Di dalam buku Ayub dikatakan bahwa Ayub adalah orang yang benar, yang kehilangan banyak hal di dalam kehidupannya. Buku itu memberitahukan bahwa pengalaman “buruk” dalam kehidupan seseorang tidak ada hubungannya dengan ketaatan atau ketidaktaatan seseorang kepada Allah. Ayub menyadari, bahwa Tuhan yang memberi dan, Tuhan yang mengambil” (Ayub 1:21). Ia tidak mengatakan “Allah yang memberi, dan Setan yang mengambil.” Ia berkata kepada istrinya; “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Pada akhir buku itu, sahabat-sahabat Ayub “menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan Tuhan kepadanya” (Ayub 42:11 bandingkan 19:21; 8:4). Karena itu, Allah adalah sumber dari “kejahatan”, dalam pengertian bahwa Ia menghendaki berbagai masalah terjadi di dalam kehidupan kita.

“Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihinya…Jika kamu harus menanggung ganjaran…tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:6-11), ayat ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang diberikan Allah kepada kita, akan membuat kerohanian kita bertumbuh. Akan bertentangan dengan firman Allah jika dikatakan bahwa Iblislah yang membuat kita berdosa dan menjadi orang yang tidak benar, yang pada waktu bersamaan ia juga dianggap sebagai penyebab dari masalah-masalah yang kita alami, yang “menghasilkan buah kebenaran.” Hal ini menentang Gagasan dari Kristen Ortodoks, khususnya pada ayat-ayat yang mereka yakini tentang penyerahan manusia kepada Iblis, “agar rohnya diselamatkan” atau “supaya jera mereka menghujat” (I Kor. 5:5; I Tim. 1:20).

Jika Setan adalah penyebab yang sebenarnya atas dosa-dosa manusia, yang dampak negatifnya juga dirasakan oleh orang lain. Mengapa ayat-ayat ini berbicara tentang “Setan” sebagai kegelapan yang dapat mengasilkan hal yang baik? Jawabannya terletak pada fakta bahwa musuh, “Setan” atau masalah dalam kehidupan, seringkali dapat menghasilkan pertumbuhan rohani yang baik bagi orang-orang percaya yang benar.

Jika kita menerima bahwa ''kejahatan'' berasal dari Allah, maka kita dapat berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, misalnya memohon kepada Dia supaya menjauhkan hal itu dari kita. Jika Ia tidak mengabulkannya, maka kita harus tahu bahwa masalah-masalah yang kita hadapi adalah demi kebaikan pertumbuhan rohani kita. Yang dianggap sebagai nasib buruk adalah, cacat jasmani, penyakit, kematian mendadak atau musibah. Jika Iblis adalah malaikat berdosa yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada kita;maka, ia dapat mengendalikan kita, dan kita tidak punya pilihan lain, selain menderita di tangannya. Tetapi jika kita berada dibawah pengaturan Allah, maka “segala sesuatu (yang terjadi dalam kehidupan) untuk mendatangkan kebaikan” (Rm. 8:28). Oleh karena itu tidak ada kata “mujur” di dalam hidup orang-orang yang percaya.

Sumber dari Dosa

Harus ditekankan, bahwa dosa berasal dari diri kita sendiri. Karena kesalahan kitalah, maka kita berdosa. Tentu saja, lebih mudah untuk mempercayai bahwa bukanlah kesalahan kita sendiri, sehingga kita berdosa. Kita bebas melakukan dosa, dan setelah itu memaafkan diri kita sendiri dengan berpikir bahwa hal itu terjadi karena disebabkan oleh Iblis, dan menyalahkan sepenuhnya kepadanya atas segala dosa-dosa yang kita perbuat. Sangat aneh jika dalam kasus-kasus yang nyata tentang kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, orang yang bersalah memohon pengampunan dan mengatakan bahwa pada saat kejadian itu ia berada dibawah kuasa Iblis, sehingga tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang ia lakukan. Pernyataan-pernyataan yang tidak mempunyai bukti yang kuat seperti itu akan dihakimi tanpa ada penghalang sama sekali, dan hukuman akan dijatuhkan ke atas orang itu.

Kita harus ingat bahwa ”upah dosa ialah maut” (Rm. 6:23); dosa menuntun kita kepada kematian. Jika bukan karena kesalahan kita sendiri sehingga kita berdosa, maka Allah seharusnya menghukum Iblis daripada menghukum kita. Tetapi faktanya adalah bahwa kita akan dihakimi karena dosa-dosa kita, yang menunjukkan bahwa kita bertanggungjawab atas dosa-dosa kita. Menciptakan Gagasan tentang keberadaan Iblis sebagai suatu pribadi, dan prinsip bahwa dosa bukan berasal dari kita; adalah usaha untuk menghindar dari pertanggungjawaban atas dosa-dosa yang kita perbuat. Dan merupakan contoh dari orang-orang yang menolak untuk mengakui ajaran Alkitab tentang keadaan manusia yang sebenarnya, yaitu penuh dengan dosa.

”Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya...Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan...kesombongan, kekebalan. Semua hal-hal ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mrk. 7:15-23).

Gagasan tentang sesuatu makhluk yang berdosa yang dapat masuk ke dalam diri kita, sehingga kita melakukan dosa; bertentangan dengan ajaran Yesus yang sangat jelas pada ayat-ayat diatas. ”Sebab dari dalam hati orang timbul segala pikiran jahat.” Inilah sebabnya mengapa pada waktu peristiwa air bah Allah mempertimbangkan manusia dengan hal ini, ”sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat sejak kecilnya” (Kej. 8:21). Yakobus 1:14 memberitahukan bagaimana sehingga kita dapat tergoda; ”Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” Kita tergoda oleh karena keinginan kita, hasrat kita yang jahat, bukan oleh suatu pengaruh dari luar diri kita. ”Darimanakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu?” ”Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?” (Yak. 4:1). Setiap orang mengalami godaan yang berbeda-beda, yang dibangkitkan oleh hasrat mereka yang jahat, yang sudah menjadi kepribadian manusia. Memang benar pernyataan bahwa musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri.

Buku Roma penuh dengan penjelasan tentang dosa, asalnya, dan bagaimana mengatasinya. Penting sekali untuk mengetahui bahwa di dalam buku itu Iblis atau Setan, hampir tidak pernah disebutkan. Dan dalam konteks tentang awal mula dosa, Paulus tidak menyebutkan Iblis atau Setan. Dengan cara yang sama, kata ”Iblis” digunakan di dalam Perjanjian Baru sebagai suatu konsep untuk menjelaskan tentang dosa. Jika ada sesuatu dari luar tubuh kita yang dapat membuat kita berdosa, pastilah akan dijelaskan secara luas hingga di Perjanjian Lama. Tetapi hal-hal tersebut tidak pernah dijelaskan sama sekali. Catatan dari masa pemerintahan Hakim-hakim, atau mengenai perjalanan bangsa Israel di padang gurun, menunjukkan bahwa pada masa itu Israel berdosa atas suatu perjanjian yang besar. Tetapi Allah tidak memperingatkan mereka tentang keberadaan dari sesuatu kekuatan supranatural yang dapat masuk ke dalam tubuh mereka dan membuat mereka berdosa. Sebaliknya, Ia menganjurkan mereka untuk menerapkan firmanNya agar mereka tidak jatuh ke dalam keinginan daging mereka (Ul. 27:9,10; Yos. 22:5).

Paulus meratapi dirinya dengan berkata, ”di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik...aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku” (Rm. 7:18-21). Ia tidak menyalahkan dosa-dosa yang ia lakukan kepada sesuatu yang disebut Iblis. Ia menunjukkan bahwa sifat jahat yang ada di dalam dirinya adalah sumber dari dosa yang sesungguhnya; ”maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.” Setiap orang yang bijaksana yang mempunyai pandangan rohani yang baik akan berpendapat sama tentang pengetahuan ini. Perlu dicatat, bahwa Paulus setelah menjadi pengikut Kristus tidak mengalami perubahan apapun atas dirinya yang dapat membuat ia menjadi tidak berdosa atau tidak dapat melakukan dosa lagi. Gerakan ”Evangelis” modern mengklaim hal yang sebaliknya; dengan demikian mereka telah menempatkan Paulus dalam daftar dari orang-orang yang tidak ”diselamatkan” sehubungan dengan pernyataan Paulus di Roma 7:15-21, dimana terdapat ayat-ayat yang merupakan bukti untuk menentang klaim mereka. Begitu juga dengan Daud, yang tidak diragukan lagi sebagai orang yang benar. Ia juga mengakui dosa-dosa yang terdapat di dalam dirinya; ”Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku” (Mzm. 51:5).

Penjelasan di dalam Alkitab tentang sifat manusia yang sebenarnya, sangat jelas sekali. Yaitu, secara umum mereka penuh dengan kejahatan. Jika hal ini dapat diterima, maka tidak perlu menciptakan suatu bayangan dari seseorang yang berada di luar alam manusia yang bertanggung atas dosa-dosa kita. Yeremia 17:19 mengatakan bahwa hati manusia sangat licik, dan karena begitu licik, kita tidak dapat mengetahuinya. Di Matius 7:11 Yesus juga menilai bahwa sifat manusia pada dasarnya adalah jahat. Kata-kata di Pengkhotbah 9:3 tidak dapat disangkal lagi; ”Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan. Efesus 4:18 memberikan alasan mengapa sifat manusia dapat menjauhkan dirinya dengan Allah, yang disebabkan ”karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.” Karena buta secara rohani dan memiliki hati nurani yang suka membangkang, maka jalan pikiran kita menjadi jauh dari Allah. Sehubungan dengan hal ini Galatia 5:19 berbicara tentang dosa kita sebagai ”Perbuatan daging”; karena tubuh kita sendiri yang menyebabkan kita berbuat dosa. Tidak satupun dari ayat-ayat ini menjelaskan bahwa dosa berasal dari Iblis yang membawanya ke dalam diri kita. Kecenderungan untuk berbuat dosa memang sudah ada di dalam diri kita sejak kita dilahirkan, yang sudah menjadi suatu bagian yang pokok di dalam diri manusia.