Adakalanya kata-kata di dalam Alkitab tidak diterjemahkan dan tetap dibiarkan dalam bahasa aslinya (contoh, “Mammon” dalam bahasa Aramaik di Mat. 6:24). Kata “setan” berasal dari kata Ibrani yang tidak dapat diterjemahkan, yang mempunyai arti “musuh.” Sedangkan kata “iblis” diterjemahkan dari bahasa Yunani “diabolos”, yang mempunyai arti pendusta, musuh, atau pemfitnah. Jika kita percaya bahwa setan dan iblis adalah sesuatu yang berada di luar diri kita, yang bertanggungjawab atas dosa, maka dimanapun kita menemukan kata-kata tersebut di dalam Alkitab, kita akan mengartikan kata tersebut sebagai suatu pribadi yang jahat. Penggunaan kata-kata tersebut di dalam Alkitab menunjukkan bahwa kata-kata tersebut digunakan untuk menjelaskan sifat yang terdapat di dalam diri manusia. Karena itu kata iblis dan setan yang terdapat di dalam Alkitab tidak menunjuk kepada suatu pribadi yang jahat, yang berada di luar diri kita.
Kata “setan” di dalam Alkitab
I Raja-raja 11:14 mencatat, “Tuhan membangkitkan seorang ”lawan” (kata Ibrani yang juga diterjemahkan sebagai “setan”) Salomo, yakni Hadad, orang Edom.” “Allah membangkitkan pula seorang “lawan” (dari kata yang sama)…yakni Rezon…Dialah yang menjadi “lawan” (setan) Israel” (I Raj. 11:23,25). Ayat-ayat ini tidak mengartikan bahwa Allah membangkitkan suatu makhluk supranatural atau seorang malaikat, untuk menjadi setan/musuh bagi Salomo; ia hanya membangkitkan sifat jahat yang terdapat di dalam diri manusia. Matius 16:22,23 memberikan contoh yang lain sehubungan dengan hal ini; ketika Petrus berusaha menghalangi Yesus pergi ke Yerusalem untuk mati di kayu salib. Yesus berbalik dan mengatakan kepada Petrus, “Enyahlah Iblis…sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Karena itu Petrus disebut sebagai setan. Catatan tersebut dengan jelas mengatakan bahwa Yesus tidak sedang berbicara kepada seorang malaikat atau suatu makhluk yang mengerikan, ketika ia mengucapkan kata-kata itu, tetapi ia sedang berbicara dengan Petrus.
Karena kata “setan” mempunyai arti; musuh, orang baik, bahkan Allah juga dapat disebut “setan.” Pada intinya, kata tersebut sama sekali tidak mengartikan sesuatu yang penuh dengan dosa. Konotasi dari penuh dengan dosa, yaitu kata ”setan”, menjelaskan tentang keadaan kita yang sebenarnya yang penuh dengan dosa, yang merupakan musuh terbesar kita, yaitu setan; dan penggunannya di dalam kalimat menunjuk kepada sesuatu yang berhubungan dengan dosa. Allah juga dapat disebut ''setan'' bagi kita, dalam pengertian bahwa Ia yang menyebabkan masalah-masalah di dalam kehidupan kita, atau memberikan jalan yang salah kepada kita sewaktu sedang mengahadapi masalah. Fakta bahwa Allah dapat disebut sebagai ''setan'' tidak mengartikan bahwa Ia penuh dengan dosa.
Di dalam buku Samuel dan Tawarikh, terdapat catatan yang berkaitan tentang suatu peristiwa yang sama. Seperti empat buku Injil yang mencatat peristiwa-peristiwa yang sama, dalam bahasa penulisan yang berbeda. II Samuel 24:1 mencatat, “Bangkitlah pula murka Tuhan terhadap orang Israel; Ia menghasut Daud melawan mereka” agar ia menghitung bangsa Israel. Catatan mengenai peristiwa yang sama juga terdapat di I Tawarikh 21:1; ”Iblis bangkit melawan Israel dan membujuk Daud untuk menghitung orang Israel.” Pada ayat yang pertama dijelaskan bahwa Allah yang menghasut Daud, tetapi pada ayat kedua disebutkan bahwa setanlah yang melakukan hal itu. Kesimpulan dari hal ini adalah, Allah bertindak sebagai “setan” atau musuh bagi Daud. Ia juga melakukan hal yang sama kepada Ayub, dengan membawa sejumlah penderitaan ke dalam kehidupan Ayub. Karena itu Ayub berkata kepada Allah; “Engkau memusuhi aku dengan kekuatan tanganMu” (Ayub 30:21); sama dengan mengatakan, “Engkau bertindak sebagai setan dengan memusuhi aku.”
Kata “iblis” di dalam Alkitab
Begitu juga dengan kata “iblis”, Yesus mengatakan, “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang diantaramu adalah iblis. Yang dimaksudkannya ialah Yudas…” (Yoh. 6:70,71). Yaitu manusia biasa yang berkematian. Ia tidak berbicara tentang suatu pribadi yang memiliki tanduk, yang disebut “makhluk roh.” Kata “iblis” pada ayat ini menunjuk kepada sifat manusia yang jahat. I Timotius 3:11 memberikan contoh yang lain sehubungan dengan hal ini; istri dari penatua gereja haruslah bukan seorang “pemfitnah”, yang berasal dari kata Yunani “diabolos”, yang juga diterjemahkan menjadi “iblis.” Karena itu Paulus memperingatkan Titus agar perempuan-perempuan tua yang melayani bukanlah seorang “pemfitnah” atau “iblis” (Tit. 2:3). Dan ia juga mengatakan hal yang sama kepada Timotius (II Tim. 3:1,3); ”pada hari-hari terakhir...manusia akan...menjadi pemfitnah (iblis).” Hal ini tidak mengartikan bahwa manusia akan berubah bentuk menjadi makhluk super, tetapi mengartikan, bahwa mereka akan bertambah jahat. Dari semua penjelasan ini, sangat jelas sekali bahwa kata “iblis” dan “setan” tidak menunjuk kepada keberadaan dari Malaikat yang berdosa di luar diri kita.
Dosa, Setan, dan Iblis
Kata “setan” dan “iblis” digunakan dalam bentuk kiasan untuk menjelaskan kecenderungan secara alami melakukan dosa yang terdapat di dalam diri manusia. Inilah musuh atau “setan” yang sebenarnya. Selain disebut sebagai “iblis” atau musuh kita, mereka juga merupakan lambang dari pemfitnah kebenaran. Inilah sifat manusia yang sebenarnya, sangat jahat. Hubungan antara iblis dengan hasrat kita yang jahat adalah, sama-sama merupakan dosa di dalam diri kita. Yang sangat jelas terlihat di dalam beberapa ayat; ”Karena anak-anak itu (kita) adalah anak-anak dari darah dan daging, maka ia (Yesus) juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematiannya ia memusnahkan dia, yaitu iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibr. 2:14). Kata iblis pada ayat ini dijelaskan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kematian, tapi ”upah dosa ialah maut” (Rm. 6:23). Oleh karena itu, dosa dan iblis pastilah berkaitan. Hal yang serupa juga terdapat di Yakobus 1:14, yang mengatakan bahwa hasrat kita yang jahatlah yang menggoda kita, dan menuntun kita untuk melakukan dosa, yang upahnya adalah kematian. Tetapi di Ibrani 2:14 dikatakan bahwa iblis yang menyebabkan kematian. Ayat yang sama juga mengatakan bahwa Yesus menjadi sama dengan manusia untuk membinasakan iblis. Bandingkan dengan Roma 8:3 yang mengatakan bahwa Allah ”mengutus anakNya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa.” Hal ini menunjukkan bahwa iblis dan kecenderungan untuk melakukan dosa adlah sifat alami yang terdapat di dalam diri manusia, yang bekerja dengan efektif pada waktu yang bersamaan. Sangat penting untuk dipahami, bahwa Yesus juga digoda seperti kita. Tidak memahami dengan benar doktrin tentang iblis, akan membuat kita tidak dapat menghargai dengan sepantasnya atas pekerjaan-pekerjaan yang Yesus lakukan. Karena Yesus menjadi sama dengan manusia, dimana ”iblis” berada di dalamnya, maka kita mempunyai harapan untuk diselamatkan (Ibr. 2:14-18; 4:15). Dengan mengatasi hasratnya yang alami, yaitu iblis, Yesus membinasakan iblis pada kayu salib (Ibr. 2:14). Jika betul iblis adalah suatu pribadi, maka ia tidak akan ada lagi, tetapi faktanya tidak demikian. Ibrani 9:26 mengatakan bahwa manifestasi Kristus adalah untuk ”menghapuskan dosa oleh korbannya.” Ibrani 2:14 membenarkan hal ini dengan menyatakan bahwa melalui kematiannya, Kristus membinasakan iblis yang berada di dalam dirinya. Melalui kematiannya, Yesus bertujuan untuk membinasakan ”tubuh dosa” (Rm. 6:6), yaitu sifat manusia, yang dalam berbagai macam keinginan dagingnya menimbulkan dosa.
”Barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari iblis” (I Yoh. 3:8), karena dosa adalah hasil dari menuruti keinginan-keinginan kita yang jahat (Yoh. 1:14,15), yang disebut Alkitab sebagai ”iblis.” ”Untuk inilah anak Allah menyatakan dirinya, yaitu supaya ia membinasakan perbuatan-perbuatan iblis itu” (I Yoh. 3:8). Jika benar bahwa iblis adalah segala hasrat kita yang jahat, maka dengan menuruti hasrat kita yang jahat, berarti kita melakukan dosa. Hal ini dibenarkan I Yohanes 3:5; ”Ia telah menyatakan dirinya supaya ia menghapus segala dosa” dan membenarkan bahwa ”dosa-dosa” kita sama dengan ”pekerjaan-pekerjaan iblis.” Kisah para Rasul 5:3 memberikan bukti yang lain tentang hubungan antara dosa-dosa kita dengan iblis; Petrus berkata kepada Ananias: ”mengapa hatimu dikuasai iblis?” Kemudian di ayat 4 Petrus mengatakan ”Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu di dalam hatimu?” Merencanakan sesuatu yang jahat di dalam hati kita disamakan dengan iblis menguasai hati kita. Jika kita merencanakan sesuatu, misalnya rencana jahat, maka hal itu dimulai dari dalam diri kita. Jika seorang wanita berencana untuk mempunyai seorang anak, hal tersebut tidak terjadi di luar dirinya, tetapi dari dalam dirinya. Yakobus 1:14,15 menggunakan gambaran yang sama untuk menjelaskan bagaimana rancangan kita yang penuh dengan hawa nafsu yang membawa kita ke dalam dosa, dan menuntun kita pada kematian. Mazmur 109:6 mengkaitkan seseorang yang berdosa dengan ”setan”; ”Angkatlah seorang fasik atas dia, dan biarlah seorang pendakwa (setan) berdiri di sebelah kanannya”, yaitu kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri (bandingkan ayat 31).
Personifikasi
Sebagai tanggapan, mungkin anda akan mengatakan; ”Tetapi hal itu berbicara dalam pengertian jika iblis adalah suatu pribadi.” Memang betul, Ibrani 2:14 mengatakan ”yaitu iblis yang berkuasa atas maut. Jika kita membaca beberapa bagian saja dari Alkitab, kita akan mengetahui bahwa bahasa personifikasi sering kali digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti menjelaskan suatu pribadi. Seperti yang terdapat di Amsal 9:1, yang berbicara tentang wanita yang disebut ”hikmat”, yang mendirikan sebuah rumah. Dan Roma 6:23 yang menyamakan kematian dengan alat pembayaran, yaitu sebagai upah dari dosa.. Iblis yang ada di dalam diri kita ”diabolos”, seringkali menjadi gambaran dari hasrat kita yang jahat. Tetapi tidak dapat diartikan secara abstrak. Karena hasrat yang jahat yang terdapat di dalam hati kita, bukanlah suatu bagian yang terpisah dari diri kita. Oleh karena itu kata ”iblis” adalah bahasa personifikasi. Begitu juga dengan dosa, yang sering dipersonifikasikan sebagai tuan (Rm. 5:21; 6:6,17; 7:3). Dengan mengingat bahwa kata ”iblis” juga menunjuk kepada dosa, maka dapat dipahami bahwa kata ”iblis” dipersonifikasikan. Karena dengan cara yang sama Paulus mengatakan bahwa kita mempunyai dua kehidupan, jasmani dan rohani (Rm. 7:15-21); tubuh jasmani; yaitu ”iblis” melawan tubuh rohani. Jelas sekali hal ini tidak dapat diartikan secara harfiah, bahwa ada dua pribadi yang berseteru di dalam tubuh kita. Bagian yang penuh dosa dari diri kita dipersonifikasikan sebagai ”yang jahat”(Mat. 6:13) yaitu iblis. Ungkapan Yunani yang diterjemahkan sebagai ”yang jahat” di dalam I Korintus 5:13 diterjemahkan menjadi ”orang yang melakukan kejahatan”, hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang memberikan jalan kepada dosa, bagian dari dirinya ”yang jahat” atau ia sendiri, menjadi ”iblis” atau orang ”yang jahat.”
Kata ”Iblis” dan ”Setan” dalam Konteks Politik
Kata ”iblis” dan ”setan” juga digunakan untuk menggambarkan kejahatan dari dunia yang penuh dengan dosa, tempat dimana kita hidup. Sosial, politik, agama-agama palsu, dan sistem pemerintahan manusia, dapat disebut dengan satu istilah, yaitu ”iblis.” Dalam Perjanjian Baru, iblis dan setan seringkali menunjuk kepada kuasa dari sistem politik dan sosial dari orang-orang Yahudi atau Roma. Karena itu tertulis bahwa iblis dilemparkan ke dalam penjara (Why. 2:10), yang menunjuk kepada kekuasaan Roma yang telah menindas orang-orang yang percaya. Dalam konteks yang sama, tertulis bahwa gereja di Pergamus terletak di takhta iblis. Hal ini tidak mengartikan bahwa setan yang duduk di takhta itu. Pergamus adalah daerah koloni Roma yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dimana terdapat komunitas dari orang-orang yang percaya.
Dosa pribadi dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah (I Yoh. 3:4). Tetapi, kadang-kadang dosa yang ditunjukkan secara bersama-sama melalui kekuatan politik dan sosial yang menentang Allah, juga dipersonifikasikan sebagai Iblis. Dengan cara seperti inilah, seringkali kata ”iblis” dan ”setan” digunakan di dalam Alkitab.
Sebagai kesimpulan, mungkin benar jika dikatakan, bahwa pembahasan tentang hal ini lebih penting dari yang lain. Karena penting sekali untuk melandasi pemahaman kita dengan pandangan yang selaras dengan seluruh isi Alkitab, daripada membuat sesuatu doktrin yang hanya didasari atas beberapa ayat, dimana terdapat kata-kata tersebut, yang mendukung kepercayaan yang pada umumnya diakui sehubungan dengan Iblis. Satu-satunya jalan dalam menyampaikan doktrin ini dengan penguraian yang lebih dalam, tujuannya ialah agar anda dapat memiliki pemahaman berdasarkan semua ayat yang menunjuk kepada iblis dan setan.
Kata-kata tersebut dapat digunakan sebagai kata sifat, atau sesuatu yang menunjuk kepada dosa yang terdapat di dalam diri manusia.