Banyak agama-agama dan sekte-sekte Kristen mempercayai keberadaan dari makhluk yang mengerikan, yang disebut Iblis atau Setan. Yang menjadi penyebab dari berbagai masalah di dunia ini termasuk masalah-masalah yang kita hadapi dalam kehidupan kita dan yang bertanggungjawab atas dosa yang kita perbuat. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah sangat berkuasa, dan seperti yangh kita ketahui bahwa, para malaikat tidak berdosa. Berdasarkan hal-hal ini, maka jika kita mempercayai keberadaan makhluk yang mengerikan itu, sama dengan kita mempertanyakan kekuasaan Allah. Begitu pentingnya masalah ini, sehingga kita perlu memahami dengan benar doktrin tentang Iblis atau Setan. Ibrani 2:14 mengatakan bahwa Yesus membinasakan Iblis melalui kematiannya, karena itu, kita tidak dapat memahami pekerjaan Yesus yang sebenarnya kecuali kita memiliki pemahaman yang benar tentang Iblis.
Pada umunya di dunia ini, khususnya mereka yang disebut “orang Kristen” mempercayai gagasan bahwa kebaikan berasal dari Allah dan kejahatan berasal dari Iblis atau Setan. Ini bukanlah suatu gagasan yang baru, dan tidak hanya terdapat di dalam Kekristenan yang murtad. Sebagai contoh; orang-orang Babilon mempercayai keberadaan dua dewa, dewa terang dan kebaikan; dan dewa kegelapan dan kejahatan, mereka berdua terlibat dalam perseteruan. Kores, Raja Persia, mempercayai hal ini. Karena itu Allah berkata kepadanya, “Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah…yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan nasib malang; Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini” (Yes. 45:5-7,22). Allah menciptakan nasib mujur atau kebaikan dan juga menciptakan nasib malang atau bencana. Berdasarkan ayat ini, Allah adalah penyebab, pencipta “nasib malang.” Dalam pengertian ini, ada perbedaan antara “nasib malang” atau bencana, dengan dosa, yang adalah kesalahan manusia; yang masuk ke dalam dunia sebagai akibat dari perbuatan manusia, bukan Allah (Rm. 5:12).
Allah berkata kepada Kores dan orang-orang di Babilon, ”Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain.” Kata Ibrani “el” yang diterjemahkan menjadi “Allah” mempunyai arti “kuasa” atau “sumber kuasa.” Allah mengatakan bahwa tidak ada sumber kuasa selain dari diriNya. Inilah alasannya mengapa orang-orang percaya yang benar di dalam Allah tidak dapat menerima gagasan tentang hal-hal gaib yang berhubungan dengan Iblis atau roh-roh jahat.
Allah: Penyebab ''Malapetaka''
Alkitab penuh dengan contoh-contoh yang menjelaskan tentang Allah sebagai penyebab dari “malapetaka” atas manusia dan dunia ini. Amos 3:6 mengatakan bahwa jika ada malapetaka di dalam suatu kota, pasti Allah yang melakukannya. Sebagai contoh, jika terjadi gempa bumi di suatu kota. Banyak orang yang menyangka “Iblis” yang menyebabkannya, sehingga malapetaka itu terjadi. Setiap orang percaya yang benar harus memahami, bahwa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kejadian itu adalah Allah, karena itu Mikha 1:12 mengatakan, bahwa “malapetaka turun dari pada Tuhan sampai ke pintu gerbang Yerusalem.” Di dalam buku Ayub dikatakan bahwa Ayub adalah orang yang benar, yang kehilangan banyak hal di dalam kehidupannya. Buku itu memberitahukan bahwa pengalaman “buruk” dalam kehidupan seseorang tidak ada hubungannya dengan ketaatan atau ketidaktaatan seseorang kepada Allah. Ayub menyadari, bahwa Tuhan yang memberi dan, Tuhan yang mengambil” (Ayub 1:21). Ia tidak mengatakan “Allah yang memberi, dan Setan yang mengambil.” Ia berkata kepada istrinya; “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Pada akhir buku itu, sahabat-sahabat Ayub “menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan Tuhan kepadanya” (Ayub 42:11 bandingkan 19:21; 8:4). Karena itu, Allah adalah sumber dari “kejahatan”, dalam pengertian bahwa Ia menghendaki berbagai masalah terjadi di dalam kehidupan kita.
“Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihinya…Jika kamu harus menanggung ganjaran…tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:6-11), ayat ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang diberikan Allah kepada kita, akan membuat kerohanian kita bertumbuh. Akan bertentangan dengan firman Allah jika dikatakan bahwa Iblislah yang membuat kita berdosa dan menjadi orang yang tidak benar, yang pada waktu bersamaan ia juga dianggap sebagai penyebab dari masalah-masalah yang kita alami, yang “menghasilkan buah kebenaran.” Hal ini menentang Gagasan dari Kristen Ortodoks, khususnya pada ayat-ayat yang mereka yakini tentang penyerahan manusia kepada Iblis, “agar rohnya diselamatkan” atau “supaya jera mereka menghujat” (I Kor. 5:5; I Tim. 1:20).
Jika Setan adalah penyebab yang sebenarnya atas dosa-dosa manusia, yang dampak negatifnya juga dirasakan oleh orang lain. Mengapa ayat-ayat ini berbicara tentang “Setan” sebagai kegelapan yang dapat mengasilkan hal yang baik? Jawabannya terletak pada fakta bahwa musuh, “Setan” atau masalah dalam kehidupan, seringkali dapat menghasilkan pertumbuhan rohani yang baik bagi orang-orang percaya yang benar.
Jika kita menerima bahwa ''kejahatan'' berasal dari Allah, maka kita dapat berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, misalnya memohon kepada Dia supaya menjauhkan hal itu dari kita. Jika Ia tidak mengabulkannya, maka kita harus tahu bahwa masalah-masalah yang kita hadapi adalah demi kebaikan pertumbuhan rohani kita. Yang dianggap sebagai nasib buruk adalah, cacat jasmani, penyakit, kematian mendadak atau musibah. Jika Iblis adalah malaikat berdosa yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada kita;maka, ia dapat mengendalikan kita, dan kita tidak punya pilihan lain, selain menderita di tangannya. Tetapi jika kita berada dibawah pengaturan Allah, maka “segala sesuatu (yang terjadi dalam kehidupan) untuk mendatangkan kebaikan” (Rm. 8:28). Oleh karena itu tidak ada kata “mujur” di dalam hidup orang-orang yang percaya.
Sumber dari Dosa
Harus ditekankan, bahwa dosa berasal dari diri kita sendiri. Karena kesalahan kitalah, maka kita berdosa. Tentu saja, lebih mudah untuk mempercayai bahwa bukanlah kesalahan kita sendiri, sehingga kita berdosa. Kita bebas melakukan dosa, dan setelah itu memaafkan diri kita sendiri dengan berpikir bahwa hal itu terjadi karena disebabkan oleh Iblis, dan menyalahkan sepenuhnya kepadanya atas segala dosa-dosa yang kita perbuat. Sangat aneh jika dalam kasus-kasus yang nyata tentang kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, orang yang bersalah memohon pengampunan dan mengatakan bahwa pada saat kejadian itu ia berada dibawah kuasa Iblis, sehingga tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang ia lakukan. Pernyataan-pernyataan yang tidak mempunyai bukti yang kuat seperti itu akan dihakimi tanpa ada penghalang sama sekali, dan hukuman akan dijatuhkan ke atas orang itu.
Kita harus ingat bahwa ”upah dosa ialah maut” (Rm. 6:23); dosa menuntun kita kepada kematian. Jika bukan karena kesalahan kita sendiri sehingga kita berdosa, maka Allah seharusnya menghukum Iblis daripada menghukum kita. Tetapi faktanya adalah bahwa kita akan dihakimi karena dosa-dosa kita, yang menunjukkan bahwa kita bertanggungjawab atas dosa-dosa kita. Menciptakan Gagasan tentang keberadaan Iblis sebagai suatu pribadi, dan prinsip bahwa dosa bukan berasal dari kita; adalah usaha untuk menghindar dari pertanggungjawaban atas dosa-dosa yang kita perbuat. Dan merupakan contoh dari orang-orang yang menolak untuk mengakui ajaran Alkitab tentang keadaan manusia yang sebenarnya, yaitu penuh dengan dosa.
”Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya...Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan...kesombongan, kekebalan. Semua hal-hal ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mrk. 7:15-23).
Gagasan tentang sesuatu makhluk yang berdosa yang dapat masuk ke dalam diri kita, sehingga kita melakukan dosa; bertentangan dengan ajaran Yesus yang sangat jelas pada ayat-ayat diatas. ”Sebab dari dalam hati orang timbul segala pikiran jahat.” Inilah sebabnya mengapa pada waktu peristiwa air bah Allah mempertimbangkan manusia dengan hal ini, ”sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat sejak kecilnya” (Kej. 8:21). Yakobus 1:14 memberitahukan bagaimana sehingga kita dapat tergoda; ”Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” Kita tergoda oleh karena keinginan kita, hasrat kita yang jahat, bukan oleh suatu pengaruh dari luar diri kita. ”Darimanakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu?” ”Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?” (Yak. 4:1). Setiap orang mengalami godaan yang berbeda-beda, yang dibangkitkan oleh hasrat mereka yang jahat, yang sudah menjadi kepribadian manusia. Memang benar pernyataan bahwa musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri.
Buku Roma penuh dengan penjelasan tentang dosa, asalnya, dan bagaimana mengatasinya. Penting sekali untuk mengetahui bahwa di dalam buku itu Iblis atau Setan, hampir tidak pernah disebutkan. Dan dalam konteks tentang awal mula dosa, Paulus tidak menyebutkan Iblis atau Setan. Dengan cara yang sama, kata ”Iblis” digunakan di dalam Perjanjian Baru sebagai suatu konsep untuk menjelaskan tentang dosa. Jika ada sesuatu dari luar tubuh kita yang dapat membuat kita berdosa, pastilah akan dijelaskan secara luas hingga di Perjanjian Lama. Tetapi hal-hal tersebut tidak pernah dijelaskan sama sekali. Catatan dari masa pemerintahan Hakim-hakim, atau mengenai perjalanan bangsa Israel di padang gurun, menunjukkan bahwa pada masa itu Israel berdosa atas suatu perjanjian yang besar. Tetapi Allah tidak memperingatkan mereka tentang keberadaan dari sesuatu kekuatan supranatural yang dapat masuk ke dalam tubuh mereka dan membuat mereka berdosa. Sebaliknya, Ia menganjurkan mereka untuk menerapkan firmanNya agar mereka tidak jatuh ke dalam keinginan daging mereka (Ul. 27:9,10; Yos. 22:5).
Paulus meratapi dirinya dengan berkata, ”di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik...aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku” (Rm. 7:18-21). Ia tidak menyalahkan dosa-dosa yang ia lakukan kepada sesuatu yang disebut Iblis. Ia menunjukkan bahwa sifat jahat yang ada di dalam dirinya adalah sumber dari dosa yang sesungguhnya; ”maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.” Setiap orang yang bijaksana yang mempunyai pandangan rohani yang baik akan berpendapat sama tentang pengetahuan ini. Perlu dicatat, bahwa Paulus setelah menjadi pengikut Kristus tidak mengalami perubahan apapun atas dirinya yang dapat membuat ia menjadi tidak berdosa atau tidak dapat melakukan dosa lagi. Gerakan ”Evangelis” modern mengklaim hal yang sebaliknya; dengan demikian mereka telah menempatkan Paulus dalam daftar dari orang-orang yang tidak ”diselamatkan” sehubungan dengan pernyataan Paulus di Roma 7:15-21, dimana terdapat ayat-ayat yang merupakan bukti untuk menentang klaim mereka. Begitu juga dengan Daud, yang tidak diragukan lagi sebagai orang yang benar. Ia juga mengakui dosa-dosa yang terdapat di dalam dirinya; ”Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku” (Mzm. 51:5).
Penjelasan di dalam Alkitab tentang sifat manusia yang sebenarnya, sangat jelas sekali. Yaitu, secara umum mereka penuh dengan kejahatan. Jika hal ini dapat diterima, maka tidak perlu menciptakan suatu bayangan dari seseorang yang berada di luar alam manusia yang bertanggung atas dosa-dosa kita. Yeremia 17:19 mengatakan bahwa hati manusia sangat licik, dan karena begitu licik, kita tidak dapat mengetahuinya. Di Matius 7:11 Yesus juga menilai bahwa sifat manusia pada dasarnya adalah jahat. Kata-kata di Pengkhotbah 9:3 tidak dapat disangkal lagi; ”Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan. Efesus 4:18 memberikan alasan mengapa sifat manusia dapat menjauhkan dirinya dengan Allah, yang disebabkan ”karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.” Karena buta secara rohani dan memiliki hati nurani yang suka membangkang, maka jalan pikiran kita menjadi jauh dari Allah. Sehubungan dengan hal ini Galatia 5:19 berbicara tentang dosa kita sebagai ”Perbuatan daging”; karena tubuh kita sendiri yang menyebabkan kita berbuat dosa. Tidak satupun dari ayat-ayat ini menjelaskan bahwa dosa berasal dari Iblis yang membawanya ke dalam diri kita. Kecenderungan untuk berbuat dosa memang sudah ada di dalam diri kita sejak kita dilahirkan, yang sudah menjadi suatu bagian yang pokok di dalam diri manusia.